REVIEW BLOK POLITIK (Kuliah Dosen Tamu: Willy Purna Samadhi)
Dalam kuliah Masyarakat Sipil pada tanggal 2 Mei 2017, saya dan teman-teman mendapat banyak poin penting tentang Civil Society. Meskipun penjelasan yang disampaikan Mas Willy Purna Sadhi pada waktu itu belum bisa menjawab beberapa pertanyaan penting dalam tugas refleksi ini karena beliau banyak menjelaskan tentang esensi dari Blok Politik Demokratik itu sendiri. Namun, saya akan menarik beberapa kesimpulan kecil untuk menjawab poin poin tugas tersebut.
Indonesia: Negara Demokrasi tanpa Demokratis
Pada awal pelaksanaan pembangunan, pemerintahan Orde Baru mendapat kepercayaan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Rakyat Indonesia yang dalam enam dasa warsa sangat menderita, sedikit demi sedikit dapat dientaskan. Namun sangat disayangkan kemajuan Indonesia pada waktu itu hanya semu belaka. Hasil pembangunan telah mencitakan kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Hal ini terjadi karena adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia. Akibatnya terjadi krisis multidimensional (berbagai bidang), seperti : (1). Krisis politik, karena terlalu lamanya Presiden Suharto berkuasa ( kurang lebih 32 tahun). Setiap kebijakan muncul dari ekspresi kediktatorannya semata, tanpa melibatkan warga negara. (2) Krisis ekonomi, karena terlalu banyak utang Indonesia kepada luar negeri, dan banyak terjadi korupsi. (3). Krisis sosial, pertikaian sosial yang terjadi sepanjang tahun 1996 telah memicu munculnya kerusuhan antar agama dan etnis, misalnya di Situbondo (Jawa Timur), Tasikmalaya(Jawa Barat), Sanggau Ledo (Kalimantan Barat) yang meluas ke Singkawang dan Pontianak. Masalah ini muncul karena adanya hak istimewa bagi daerah tertentu serta pembangunan yang tidak merata. Selain itu, tidak adanya demokrasi dalam bentuk musyawarah persoalan perbedaan terus bertambah pada zaman orde baru.
Blok Politik Demokratik (BPD): Mendemokratiskan Indonesia
Sebagai bentuk protes dan jawaban atas masalah di atas, pada tahun 1998 mahasiswa dan rakyat Indonesia melakukan aksi besar-besaran untuk menuntut kebebasan sebagai warga negara dan pemegang kedaulatan tertinggi di negara demokrasi. Mahasiswa dan rakyat Indonesia menuntut adanya supremasi hukum, pemberantasan KKN, mengadili Soeharto dan kloninya, amandemen konstitusi, penghapusan dwifungsi ABRI, dan otonomi seluas-luasnya. Secara garis besar, hal ini sebenarnya menuntut kebebasan dan manifestasi demokrasi yang sesungguhnya. Maka, sebagai implikasinya dilakukan penguatan representasi kerakyatan yang mencakup tiga dimensinya, yakni: [1] representasi politik berbasis partai; [2] representasi kepentingan berbasis kegiatan sipil dan gerakan sosial; dan [3] partisipasi langsung berbasis komunitas-komunitas kewargaan yang harus mendapatkan prioritas utama. Penguatan representasi popular itu harus didasarkan kembali pada dua basisnya yang utama, yakni pada komunitas-komunitas politik demokratik di tingkat nasional, dan pada gerakan politik lokal yang berbasis isu dan kepentingan kerakyatan.
Penguatan representasi kerakyatan bisa dilakukan dengan menghadirkan Blok Politik Demokratik (BPD). BPD merupakan asosiasi politik non-partai yang manjadi wadah bagi gerakan sosial, asosiasi sipil, organisasi kemasyarakatan, juga individu-individu. Bahkan para politisi (tetapi bukan sebagai wakil partai) untuk untuk menjalankan fungsi lembaga ‘perantara’ (intermediary) yang dimaksudkan untuk memperkuat representasi popular. Kehadiran BPD bertujuan untuk memperbaiki representasi yang buruk dengan mengedepankan model representasi alternatif yang berorientasi kerakyatan (popular representation). Pembentukan BPD juga dimaksudkan untuk melakukan de-monopolisasi sistem representasi dan sistem kepartaian yang semakin tertutup. Jadi, BPD sebenarnya bukan Civil Society, melainkan perantara antara pemerintah dan Civil Society.
Lantas, mengapa BPD benar-benar penting dan diperlukan? Berdasarkan pengalaman nyata selama ini, ada tujuh alasan empiris mengapa BPD memang dipandang mendesak (Sumadhy Willy, dkk, 2008): (1) Berbagai usaha untuk menjembatani dan menggalang persekutuan antara gerakan sosial dan asosiasi sipil dari bawah seringkali menghadapi kegagalan, dan hanya berhenti menjadi front, aliansi, atau koalisi temporer. (2) Upaya untuk membangun organisasi-organisasi politik berbasis kepentingan sektoral tidak cukup berhasil mendapatkan posisi tawar yang berarti. (3) Politisasi gerakan komunitarianisme (berbasis agama, kesukuan, dan norma lokal [adat]) cenderung mengikis prinsip kesetaraan, gagal menumbuhkan kesetiakawanan inklusif berdasarkan citizenshippolitics, dan tidak efektif menciptakan persatuan sipil yang luas. (4) Menyusun platform untuk dinegosiasikan dengan kandidat/ partai politik secara ad-hoc seringkali hanya menghasilkan keuntungan sepihak bagi kandidat/partai politik itu sendiri, tanpa jaminan ada pelaksanaannya. (5) Usaha-usaha dari atas, misalnya melalui mesin politik partai. Meskipun didasarkan pada program dan perspektif yang secara teoretis dan ideologis konsisten seringkali ditanggapi secara negatif sebagai upaya untuk ‘penguasaan’ (intervensi, claim) terhadap gerakan akarrumput. (6) Ada kebutuhan mendesak untuk melibatkan partisipasi perempuan, yang perspektif dan kepentingannya selama ini diabaikan oleh gerakan politik manapun. (7) Ada kebutuhan untuk mencari cara-cara politik baru yang kreatif dengan melibatkan banyak individu dan gerakan sipil yang sejauh ini berminat dalam politik, tapi enggan terlibat dalam kegiatan kepartaian.
Blok Politik Demokratik untuk Civil Society
Berangkat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fokus Blok Politik Demokratik sebenarnya menjadi jembatan untuk memanifestasi setiap gerakan-gerakan sosial yang terbingkai dalam istilah “Civil Society”. Blok Politik berada di antara gerakan sosial dan pemerintah. posisi yang strategis ini memungkinkannya untuk mendapat power dari pemerintah dan legitimasi dari masyarakat. Untuk itu, setiap kebijakan dan program yang diterbitkan oleh BPD harus menjamin cita-cita masyarakat dan visi misi pemerintah. Beberapa agenda BPD tentu mendukung eksistensi Civil Society serta visi misi pemerintah; Pertama, blok-blok politik demokratik dimaksudkan untuk melindungi demokratisasi berbasis HAM, termasuk hak-hak sipil dan politik serta bentuk-bentuk representasi politik yang lebih demokratis dari skenario politik-keteraturan kelompok elit-dominan melalui konsolidasi demokrasi oligarkisnya. Kedua, blok-blok politik demokratik dimaksudkan untuk memajukan pemerintahan lokal yang partisipatoris, termasuk memajukan participatory budgeting, dan participatory sustainable planning. Ketiga, blok-blok politik demokratik berkepentingan untuk memajukan partisipasi perempuan, juga mempromosikan perspektif-dan-isu-perempuan, dalam berbagai urusan dan proses politik. Keempat, blok politik demokratik berkepentingan pula untuk memajukan berbagai bentuk pakta sosial. Dalam penjelasan mas Willy, sejauh ini program program BPD berkutit sekitar penanaman nilai demokrasi kepada masyarakat dengan melakukan pelatihan-pelatihan berdemokrasi.
Aliran dana yang masuk ke dalam kantong BPD tidak diketahui secara jelas (tanpa penjelasan dari Mas Willy). Namun, jika dilihat dari posisinya BPD mendapatkan dana dari pemerintah karena ikut mengambil bagian dalam program pemerintah untuk mendemokratisasikan masyarakat Indonesia. Selain itu, BPD bisa juga mendapatkan dana dukungan dari masyarakat karena memberi wadah dan menfasilitasi masyarakat dalam mewujudkan keinginan mereka dalam mewujudkan representasi kerakyatan dan kesetaraan politik. Dengan begitu, BPD membuat laporan akuntabilitas kepada pemerintah untuk menjada kekuasaan dan masyarakat untuk merawat legitimasi yang sudah diberikan kepeda mereka. Artinya, relasi yang akuntabilitas BPD berlangsung vertikal ke atas kepada pemerintah dan vertikan ke bawah kepada masyarakat.
Daftar Sumber Tambahan:
Sumadhy, Wily, dkk, 2008, Blok Politik Demokratik, Yogyakarta: INSISTPress.
Komentar
Posting Komentar