Kontestasi Ruang Publik dalam Polemik Penjualan “Tempat Penjualan Ikan” di Kampung Ujung

Kontestasi Ruang Publik dalam Polemik Penjualan
“Tempat Penjualan Ikan” di Kampung Ujung

Ruang Publik  dan Kontestasi Kepentingan
             Esai ini akan membahas terkait bagaimana perebutan ruang publik yang terjadi antara pemerintah daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua lembaga formal ini saling beragumen dan membentuk opini masyarakat sebagai subjek yang mendiami ruang publik.  Hal ini sangat menarik untuk dibahas karena aktor yang terlibat sama-sama memiliki kapasitas legitimasi sebagai stakeholders. Esai ini juga akan membahas ruang publik sebagai arena terjadi kontestasi kepentingan atau relasi kuasa Pemerintah Daerah dan DPRD. Artinya, ruang publik keluar dari makna langsung berdasarkan sifat fungsional dan perwujudan fisiknya sebagai ruang terbuka yang berperan untuk mewadahi apa yang menjadi isi-nya yaitu hubungan antarmanusia. Maka dari itu, ruang terbentuk dalam konteks sosial, terutama proses komunikasi antar manusia.  
            Dalam Rulli Nasrullah (2012), Jurgen Habermas pada tahun 1989 melalui buku yang betjudul: The Structural Transformatian of the Publik Sphere: An Inquiry into a Category of Gourgeois Society. Ruang publik tersebut pada dasarnya merupakan ruang yang tercipta dari kumpulan orang-orang tertentu (Private People) dalam konteks sebagai kalangan borjuis yang diciptakan sebagai bentuk penyikapan terhadap otoritas publik. Habermas juga menjelaskan bahwa dalam perkembangannya ruang publik sangat dipengaruhi oleh kepentingan penguasa, terutama negara dan kekuatan modal (Arditama Erisandi, 2016). Artinya, aktor yang muncul dalam mengekpresikan kekuasaan bukan ada pada ruang publik itu sendiri. Mereka muncul dari identitas sosial yang memiliki legitimasi dan kapasitas dalam menentukan kebijakan terhadap ruang publik itu sendiri.
            Ruang publik menjadi ranah politis (Arditama Erisandi, 2016). Ruang publik dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya merupakan ranah yang mempertemukan aktor-aktor dengan kepentingannya masing-masing. Ketika ruang publik menjadi ruang pertarungan kuasa, maka konsep hegemoni Gramsci menjadi alat untuk menjelaskan bagaimana kekuasaan bekerja. Kekuasaan yang ada diekspresikan dalam upaya lembaga-lembaga negara dalam menggiring opini publik agar menerima gagasan yang mereka tawarkan. Sebab, hegemoni pada dasarnya upaya kelompok tertentu memperkuat kemampuannya melalui legitimasi untuk memperoleh dukungan dari kelas atau kekuatan sosial lain (Simon Roger, 2004: 33).

Polemik Penjualan TPI Kampung Ujung: Hegemoni Pemerintah Daerah dalam Mempengaruhi DPRD dan Masyarakat
            Titik kajian dalam tulisan ini adalah Polemik penjualan “Tempat Penjualan Ikan (TPI)”.  Persoalan ini muncul ketika PT ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Indonesia melalui Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat membangun Pelabuhan Marina dan berkeinginan membeli lokasi TPI untuk memperluas daerah pelabuhan Marina. Secara geografis TPI berada di samping Pelabuhan Marina. Bupati Manggarai Barat yang menjadi representasi Pemerintah Daerah  menyetujui pembelian PT ASDP demi meningkatkan pembangunan pariwisata Manggarai Barat. Dalam pernyataannya, beliau mengatakan bahwa sebagai pihak yang bertanggung jawab dengan kesejahteraan masyarakat, pemerintah Manggarai Barat sudah mempertimbangkan dengan matang keputusan tersebut. Selain itu, Pemerintah Daerah  juga sudah bersepakat dengan PT ASDP memfasilitasi lapangan pekerjaan bagi masyarakat Manggarai Barat serta pasar modern bagi nelayan dan pengusaha kuliner di Kampung Ujung (Floresa.co, 2017).
            Dalam prosesnya sejumlah anggota DPRD Manggarai Barat menolak keras penjualan Tempat Pendaratan/Pelelangan Ikan (TPI) Kampung Ujung, Labuan Bajo. Alasan utama yang mereka sampaikan adalah TPI merupakan aset daerah dan salah satu pos pemasukan bagi Manggarai Barat kini dan di masa mendatang. Selain itu, TPI juga menjadi lapangan pekerjaan bagi nelayan dan pengusaha kuliner Manggarai Barat.  Artinya ketika TPI dijual maka nelayan dan pengusaha kuliner kehilangan pekerjaan mereka (Durung Andre, 2018).  Pilihan DPRD adalah TPI harus menggunakan sistem sewa pakai/sistem kontrak lahan, atau skema kerja sama lainnya dalam bentuk saham bersama atau bisa juga tukar guling. Pertimbangannya karena tanah TPI beserta bangunan di atasnya adalah aset daerah Manggarai Barat (Durung Andre, 2018).
            Akan tetapi, penjualan TPI tetap dilakukan oleh Pemerintah Daerah  dan disetujui oleh beberapa DPRD Manggarai Barat serta para nelayan dan pengusaha kuliner (Floresa.co, 2017). DPRD dan Masyarakat menyetujui karena Pemerintah Daerah  dan Direktur Pelayanan dan Fasilitas PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Christine Hutabarat menjamin membangun pasar modern sebagai pengganti TPI (Floresa.co, 2017). Namun, jaminan itu hanya menjadi sebatas janji. Sampai tahun 2018 pasar modern yang menjadi jaminan bagi nelayan dan pengusaha kuliner tidak terealisasikan. Sebanyak 160 nelayan dan pengusaha kuliner Kampung Ujung melayangkan surat permohonan pembatalan penjualan TPI Kampung Ujung karena belum ada tanda-tanda pembangungan pasar modern sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Pemerintah Daerah dan PT ASDP (Ito Adhie, 2018).
            Jika dicermati secara mendalam, proses penyampaian argumen yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah  dengan DPRD tidak terlepas dari konteks kuasa. Meskipun terjadi proses saling mempertahankan argumen, kedua lembaga ini berada pada struktur dan kewenangan  yang berbeda. Artinya, keputusan yang diambil bukan berdasarkan argumen yang terbaik tetapi terletak pada struktur strategis dan siapa yang berwenang. Struktur dan kewenangan berkuasa ini menjadi dasar  adanya relasi kuasa dan bisa mempengaruhi opini publik sehingga memunculkan kebijakan.
            Berdasarkan konteks persoalan penjualan TPI, kuasa dimiliki oleh aktor yang memiliki legitimasi, yaitu lembaga formal dalam hal ini adalah bupati  yang menjadi representasi dari pemerintah daerah dan DPRD. Namun, kuasa DPRD tidak mampu mempengaruhi Pemerintah Daerah  karena dalam perkembangannya DPRD tidak mampu menghegemoni nelayan dan pengusaha kuliner. Hal itu dibuktikan nelayan dan pengusaha kuliner menandatangani pernyataan kesediaan penjualan TPI, bahkan anggota DPRD pun ikut menandatangani pernyataan tersebut. Pemerintah Daerah  berhasil menggunakan wacana pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab dengan kesejahteraan masyarakat untuk mempengaruhi DPRD dan masyarakat. Apalagi Pemerintah Daerah  beragumen bahwa Manggarai Barat menjamin realisasi pembangunan pasar baru dan lapangan pekerjaan memadai. Alasan ini tentu menjadi alasan masyarakat dan DPRD menandatangani surat pernyataan setuju penjualan TPI.
            Keberhasilan pemerintah Manggarai Barat terletak pada bebarapa poin berikut: Pertama, hegemoni yang dibangun oleh pemerintah daerah dilakukan secara halus untuk menggiring opini publik, yaitu dengan mengulang frase “sebagai pihak yang bertanggung jawab”. Pemerintah daerah menggunakan kuasa lembaga formal “pemerintah”. Kedua,  reproduksi wacana pembangunan pariwisata, pasar modern, dan jaminan lapangan kerja baru terus terjadi. Pemerintah daerah selalu menggunakan argumen yang sama dalam mendukung penjualan TPI. Ketiga, sikap masyarakat dan DPRD yang terhegemoni dengan wacana pemerintah daerah. Masyarakat dan DPRD menandatangani surat pernyataan setuju penjualan TPI karena percaya bahwa pemerintah akan merelealisasikan janji-janji yang telah disampaikan kepada publik.

Audiensi dan Advokasi Kebijakan:  Tindakan Solutif dalam Menyelesaikan Polemik Penjualan TPI Kampung Ujung
             Persoalan yang muncul sebenarnya bisa diselesaikan dan mendapatkan solusi yang tepat. Namun, aktor-aktor yang terlibat dalam polemik penjualan TPI fokus pada penggiringan opini publik untuk mendapatkan “tandatangan” pihak terkait. Akar masalah dari persoalan tersebut adalah tidak adanya kesepakatan formal atau kesepakatan “di atas kertas” antara Pemerintah Daerah, DPRD, dan masyarakat selain surat pernyataan persetujuan penjualan TPI. Pada awal perencanaan penjualan ketiga aktor ini seharusnya menandatangani kesepakatan terkait batas waktu yang diberikan kepada pemerintah daerah dan perusahaan untuk memenuhi janji dan jaminan yang telah disepakati; termasuk di dalamnya bagaimana sistem pembangunan yang dilakukan, alternatif tempat TPI pengganti, serta kesepakatan-kesepakatan lain yang bisa memfasilitasi masyarakat dan DPRD dalam menuntut pemerintah daerah secara legal formal. Jadi, aktor-aktor terlibat bukan hanya mengiyakan wacana yang dibangun oleh pemerintah daerah bersama perusahaan.
            Solusi penulis dalam menyelesai persoalan penjulan TPI adalah melakukan audiensi dan advokasi. Kedua strategi ini biasanya dilakukan oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini audensi dilakukan untuk menuntut pemerintah terkait dengan pemenuhan janji dan jaminan dari kesepakatan penjualan TPI. Selain itu, audensi juga dilakukan agar masyarakat, DPRD, pemerintah daerah, dan perusahan menerbitkan surat kesepakatan resmi sehingga bisa menempuh jalur hukum  ketika terjadi hal-hal di luar kesepakatan.
            Sedangkan advokasi dilakukan untuk memperingatkan pemerintah daerah bahwa kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan pembangunan yang lahir dari pemerintah harus mengutamakan kesehteraan rakyat yang hakiki. Advokasi pada dasarnya dilakukan secara sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan perubahan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam polemik penjualan TPI, DPRD beserta representasi masyarakat bisa menjadi pihak yang melakukan advokasi. Argumen utama dalam melakukan advokasi adalah pembelaan terhadap nelayan dan pengusaha kuliner yang menjadi objek sekaligus korban keputusan dan kebijakan pemerintah daerah.

Daftar Pustaka:
Arditama, Erisandi. (2016). Mengkaji Ruang Publik dari Perspektif Kuasa: Fenomena Kemenangan Aktor Hegemonik Melalui Dominasi Budaya. Jurnal Politik Indonesia Unnes. 26. 69-86. Diakses dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Durung, Andre. (2018, April 3). Sejumlah DPRD Tolak Jual TPI Kampung Ujung. Flores Pos. Diakses dari  http://www.florespos.co/sejumlah-dprd-tolak-jual-tpi-kampung-ujung/

Floresa. (2017, April 20).  Marina Dibangun, Bagaimana Nasib TPI Kampung Ujung?. Floresa. Diakses dari http://www.floresa.co/2017/04/20/marina-dibangun-bagaimana-nasib-tpi-kampung-ujung/

Floresa. (2017, April 27). Bupati Dula: Masih Dicari Lokasi Pengganti TPI Kampung Ujung. Floresa. Diakses  dari  http://www.floresa.co/2017/04/27/bupati-dula-masih-dicari-lokasi-pengganti-tpi-kampung-ujung/

Ito, Adhie. (2017, Mei 27). Imran Ingatkan Bupati Dula Soal Lokasi TPI Baru. Flores Independen. Diakses dari http://floresindependen.com/Imran-Ingatkan-Bupati-Dula-Soal-Lokasi-TPI-Baru

Nasrullah ,Rully. (2012).  Internet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi atas Teori Ruang Publik Habermas. Jurnal Komunikator. 4. 26-35 Diakses dari http://journal.umy.ac.id/index.php/jkm/article/view/188/150

Simon, Roger. 2004. Gagasan Politik Gramsci (Cetakan IV). Yogyakarta: Insist
                                                                                 



             

                               


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN STRUKTURALISME

PERBEDAAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PARLEMENTER, TERPIMPIN DAN DEMOKRASI PANCASILA

STATE AUXILIARY BODIES: Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis