STATE AUXILIARY BODIES: Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis
Nama: Adolfus Frederik
NIM: 16/399398/SP/27531
STATE AUXILIARY BODIES
Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis
·
Dalam tugas sistem dan institusi politik Indonesia kali
ini, saya akan menjawab dalam bentuk esai.
Pertama-tama,
penulis ingin memaparkan defenisi State
Auxiliary Bodies untuk memahami State
Auxiliary Bodies (SAB). Menurut penulis, State auxiliary bodies merupakan lembaga yang lahir dari ekspresi
liberalisme dan konsekuensi positif kebebasan pasca reformasi (konteks
Indonesia). Lembaga ini bersifat independen
dan bertujuan untuk memfasilitasi
kepentingan rakyat dalam bidang dan kebutuhan masyarakat umum tertentu, yang
belum mampu dipenuhi secara secara total oleh lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif. misalnya: bidang politik,
kemanusiaan, keadilan sosial, dan lain-lain.
Setelah mengetahui
defenisi State Auxiliary Bodies, hal
penting juga untuk diperhatikan ialah apa latar belakang kemunculan SAB dalam
negara demokratis. Ketika paska
reformasi mencuat di atas permukaan, salah satu wajah ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan
UUD 1945 adalah lahirnya SAB. Layaknya jamur di musim penghujan, state
auxiliary bodies ini tumbuh berkembang
di berbagai bidang kenegaraan. Fenomena menjamurnya komisi negara memberi kesan
bahwa Indonesia berada dalam keadaan darurat karena pelbagai institusi yang ada
selama ini tidak berperan serta berjalan efektif sesuai ketatanegaraan dan
konstitusi[1].
Di sisi lain, lembaga-lembaga
penunjang negara ini adalah terobosan sekaligus perwujudan ketidakpercayaan
rakyat dan pimpinan negara terhadap lembaga kenegaraan yang ada. Namun,
keberadaan lembaga negara kuasi adalah jawaban alamiah proses ketatanegaraan
modern terhadap struktur trias politica.
Dalam perkembangan bernegara ternyata tidak cukup hanya lembaga legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Hal ini disebabkan oleh minimnya mekanisme
akuntabilitas horizontal antarlembaga tersebut. Maka, lembaga ekstra pemerintahan
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sangat dibutuhkan untuk kepentingan pengawasan ketiga lembaga
negara; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. [2]
Sebagian kalangan masyarakat menilai
lahirnya SAB yang sebagian besar
berfungsi sebagai pengawas kinerja lembaga negara merupakan bentuk
ketidakpercayaan terhadap lembaga pengawas yang telah ada, khususnya terhadap
institusi penegak hukum. Selain itu, pembentukan lembaga-lembaga independen ini
didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi pemerintahan tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan kebutuhan publik akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin
meningkat, efektif, dan efisien. Kelahiran SAB ini juga merupakan refleksi kemenanangan
kekuatan non negara dalam mempenetrasi wilayah dominasi negara yang beberapa
tahun terakhir mengalami pembelengguan. [3]
Berangkat dari kenyataan di atas,
saya menyimpulkan bahwa kemunculan SAB merupakan refleksi atas adanya
pelumpuhan demokrasi dari lembaga-lembaga pemerintahan. Hal itu tampak dalam
pengabaian tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan universal lingkup nasional.
Berdasarkan konsep
Lincoln, demokrasi merupakan pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Titik penekanan demokrasi ialah lahirnya nilai keseimbangan antara hak
dan kewajiban masyarakat. Selain itu, output dari sebuah sistem pemerintahan
harus berorientasi pada kepentingan rakyat. Apa pun kebijakan pemerintah,
kesejahteraan rakyat harus diprioritaskan.
Maka, munculnya SAB menjadi wadah
untuk merealisasikan pemerintahan yang demokratis tersebut. SAB memberi
kesempatan kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam bidang-bidang
tertentu. sehingga, tanggung jawab lembaga pemerintahan yang diabaikan dapat
diatasi dengan mengefektifkan kemunculan dan eksistensi SAB.
Sebagai lembaga pengontrol, SAB
merupakan lembaga yang menjaga check and
balance dalam roda pemerintahan
nasional. SAB menjadi pengawas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dengan mempertimbangkan apakah kebijakan tersebut berorientasi pada
kepentingan universal atau sebaliknya. Jika, kebijakan pemerintah dibuat untuk
kepentingan universal, maka SAB mendukung kebijakan tersebut. sebaliknya, SAB
akan menentang kebijakan yang melumpuhkan kepentingan kesejahteraan masyarakat
umum.
Penerapan SAB dalam negara
demokratis sebagaimana yang dijelaskan di atas didasari oleh fungsi-fungsi SAB
sendiri, antara lain; Mengkoordinasi kegiatan-kegiatan lembaga lain yang
berorientasi pada kepentingan universal, Melakukan pemantuan dan memfasilitasi
pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat, dan mewakili kepentingan daerah saat berhadapan
dengan pemerintah pusat.[4]
Salah satu contoh SAB adalah
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Untuk memahami lembaga Peradi ini,
penulis merasa perlu untuk membahas sejarah Peradi. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui latar belakang kemunculan Peradi;
1). Sejarah
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).[5]
Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) mulai diperkenalkan ke masyarakat, khususnya
kalangan penegak hukum, pada 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan.
Acara perkenalan PERADI, selain dihadiri oleh tidak kurang dari 600 advokat
se-Indonesia, juga diikuti oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia;
Menurut Pasal
32 ayat (4) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat),
Organisasi Advokat harus terbentuk dalam waktu paling lambat dua tahun sejak
undang-undang tersebut diundangkan. Banyak pihak yang meragukan para advokat
dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksud oleh undang-undang. Pada
kenyataannya, dalam waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau
tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk
membentuk PERADI.
Kesepakatan
untuk membentuk PERADI diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU
Advokat menyatakan bahwa untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat
dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara
Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
Untuk menjalankan tugas yang dimaksud, kedelapan organisasi advokat di atas,
pada 16 Juni 2003, setuju memakai nama Komite Kerja
Advokat Indonesia (KKAI).
Sebelum pada
akhirnya sepakat membentuk PERADI, KKAI telah menyelesaikan sejumlah persiapan.
Pertama yaitu melakukan verifikasi untuk memastikan nama dan jumlah advokat
yang masih aktif di Indonesia. Proses verifikasi sejalan dengan
pelaksanaan Pasal 32 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan bahwa advokat,
penasihat hukum, dan konsultan hukum yang telah diangkat saat berlakunya
undang-undang tersebut dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur
undang-undang. Sebanyak 15.489 advokat dari 16.257 pemohon dinyatakan memenuhi
persyaratan verifikasi. Para advokat tersebut telah menjadi anggota
PERADI lewat keanggotan mereka dalam delapan organisasi profesional yang
tergabung dalam KKAI.
Sebagai
bagian dari proses verifikasi, dibentuk pula sistem penomoran keanggotaaan
advokat untuk lingkup nasional yang juga dikenal dengan Nomor Registrasi
Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga
diberikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Di masa lalu, KTPA diterbitkan
oleh pengadilan tinggi di mana advokat yang bersangkutan berdomisili.
Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 di Ruang
Kusumah Atmadja, Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Persiapan
kedua adalah pembentukan Komisi Organisasi dalam rangka mempersiapkan konsep
Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia.
Kertas kerja dari Komisi Organisasi kemudian dijadikan dasar untuk menentukan
bentuk dan komposisi Organisasi Advokat yang dapat diterima oleh semua pihak.
Persiapan
lain yang telah dituntaskan KKAI adalah pembentukan Komisi Sertifikasi. Komisi
ini mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan advokat baru. Untuk dapat
diangkat menjadi advokat, selain harus lulus Fakultas Hukum, UU
Advokat mewajibkan setiap calon advokat mengikuti pendidikan khusus, magang
selama dua tahun di kantor advokat, dan lulus ujian advokat yang
diselenggarakan Organisasi Advokat. Peraturan untuk persyaratan di atas
dipersiapkan oleh komisi ini.
Setelah
pembentukannya, PERADI telah menerapkan beberapa keputusan mendasar. Pertama,
PERADI telah merumuskan prosedur bagi advokat asing untuk mengajukan
rekomendasi untuk bekerja di Indonesia. Kedua, PERADI telah membentuk
Dewan Kehormatan Sementara yang berkedudukan di Jakarta dan dalam
waktu dekat akan membentuk Dewan Kehormatan tetap. Pembentukan Dewan Kehormatan
di daerah lain saat ini menjadi prioritas PERADI. Ketiga, PERADI
telah membentuk Komisi Pendidikan Profesi Advokat Indonesia (KP2AI). Komisi ini
bertanggung jawab seputar ketentuan pendidikan khusus bagi calon advokat serta
pendidikan hukum berkelanjutan bagi advokat.
Baik KKAI
maupun PERADI telah menyiapkan bahan-bahan dasar untuk digunakan PERADI untuk
meningkatkan manajemen advokat di masa yang akan datang. Penting pula untuk
dicatat bahwa hingga saat ini seluruh keputusan, termasuk keputusan untuk
membentuk PERADI dan susunan badan pengurusnya, telah diambil melalui
musyawarah untuk mencapai kesepakatan berdasarkan paradigma
advokat Indonesia.
Meski usia PERADI masih belia, namun dengan restu
dari semua pihak, PERADI berharap dapat menjadi organisasi advokat yang bebas
dan independen, melayani untuk melindungi kepentingan pencari keadilan, dan
menjalankan tugas sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya.
2). Kinerja Peradi
Kinerja Peradi dapat diteropong melalui cara kerja
mereka. Ada pun cara kerja Peradi[6],
antara lain;
·
Advokasi untuk menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang biasa dinamakan
dengan langkah legislasi. Legislasi ini dapat dikerjakan dengan melakukan counter
draft (pengajuan konsep tanding ), judicial review (hak
uji materiil) atau langkah litigasi dengan
menguji di Pengadilan lewat satu kasus .Proses Advokasi dalam tahapan ini
memerlukan peran dan sumbangan kalangan Hukum yang memang memiliki kemampuan
untuk melakukannya.[7]
·
Pengunaan lobi, strategi negosiasi, mediasi dan melakukan
kolaborasi. Untuk ini maka diperlukan
jaringan yang lebih luas dengan spesifikasi masing-masing organ yang dipadu
dalam kerja yang terorganisir dan berlaku secara sistematis. Biasanya ada paling tidak 3 kekuatan yang
menjadi basis pendukung. Pertama, kerja pendukung yang
menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua adalah
kerja basis yang menjadi dapur gerakan dalam mebanguan basis masa,
lewat pendidikan kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi
aksi, ketiga kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai
juru bicara, perunding, pelobi, dan terlibat dalam upaya pengalangan
dukungan.
·
Melakukan kampanye, siaran pers unjuk rasa, mogok, boikot,
pengorganisasian basis dan pendidikan politik. Untuk hal ini diperlukan memanfatakan jaringan yang ada, pertama.
lingkara inti yaitu mereka yang tergolong sebagai pengagas, pemrakarsa pendiri,
pengerak utama sekaligus pengendali arah kebijakan, tema atau isu dari sasaran
kegiatan Advokasi, biasanya kelompok nti adalah mereka yang mempunyai kesamaan
ideologi. Kedua adalah jaringan sekutu , yang melakukan kerja-kerja aksi,
biasanya terdiri dari mereka yang punya kesamaan kepentingan.
Dengan melakukan tata kerja tersebut di atas, Peradi bisa mewujudkan
tujuannya dalam mengadvokasi kepentingan-kepentingan dan kesejahteraan
universal. Pencapaian kepentingan dan kesejahteraan universal tentu menjadi
tanda terwujudnya demokrasi.
Daftar Sumber:
Feri Krisdani, dalam opininya berjudul ” Strategi dan Taktik Advokasi Kebijakan”.
Opini ditulis pada tanggal 27 September 2011.
http://www.peradi.or.id/ ( diunduh pada tanggal 6 April 2017).
Huda, Ni’matul. 2007. Lembaga Negara
Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta: UII Press.
Roem
Topatimasang dkk “Study Kebijakan untuk
perubahan “, Insist press, Agustus 2000.
Trisulo Evy,
“Konfigurasi State Auxiliary
Bodies dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, 2012.
[1] Dikutip dari skripsi Angga
Prihantoro dalam https://eprints.uns.ac.id/10188/1/137171008201008261.pdf (diunduh tanggal 6 April 2017)
[2] Andi Mallarangeng dalam Ni’matul
Huda, 2007:207
[3] Dikutip dari skripsi Angga
Prihantoro dalam https://eprints.uns.ac.id/10188/1/137171008201008261.pdf (diunduh tanggal 6 April 2017)
[4] R. Rodes dalam Evy Trisulo
“Konfigurasi State Auxiliary Bodies
dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, 2012.
[6] Dikutip dari feri Krisdani, dalam
opininya berjudul ” Strategi dan Taktik
Advokasi Kebijakan”. Opini ditulis pada tanggal 27 September 2011.
Saya baru tahu bhw peradi mrp SAB, mengingat peradi tdk pny kewenangan sbg lembaga penanganan laporan/permasalahan yg melibatkan masyarakat dan negara itu sndiri. Mohon tanggapan🙏
BalasHapus