MOTANG RUA, PAHLAWAN YANG MENENTANG PEMERINTAH BELANDA
Pembicaraan mengenai sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah tidak terlepas dari perjuangan yang bersifat kedaerahan. Perjuangan kedaerahan  tersebut tentu terwakili oleh beberapa pahlawan yang berjuang dengan totalitas dan cara mereka sendiri. Sebagai contoh, Hasanudin yang berjuang di Makasar untuk melawan penjajah Belanda, Sultan Agung di Mataram, Sultan Agung Tirtoyoso di Banten dan Jakarta, Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa, Cut Nya Dien dan Teuku Umar di Aceh, dan Pangeran Antasari di Banjarmasin.
Deretan nama di atas merupakan pahlawan yang terekam sejarah nasional dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun, di samping mereka terdapat pahlawan-pahlawan lain yang mungkin belum terekam dalam sejarah nasional Indonesia, karena belum ada penelitian tertentu. Para pahlawan yang bergerak bersama masyarakat daerah untuk menentang penjajah. Tentu dengan skala perjuangan mereka masing-masing.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk menengok ke timur Indonesia. Penulis ingin memaparkan cerita tentang pahlawan daerah Manggarai yang belum terekam dalam sejarah nasional. Dia bernama Guru Amenempung atau dijuluki Motang Rua, yang  berasal dari daerah Beokina, Kabupaten Manggarai  Provinsi  Nusa Tenggara Timur.  Motang Rua memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan di daerah Manggarai, sehingga tidak heran sekarang  pemerintah daerah Manggarai merencanakan pembangunan patung Motang Rua untuk memenuhi kebutuhan sejarah masyarakat Manggarai, yaitu mengetahui pahlawan daerah dan menghormatinya sebagai pahlawan yang berani menentang penjajah.
Maka, adapun poin-poin penting yang akan dibahas dalam tulisan ini antara lain sekilas tentang Motang Rua, Perlawanan Kedaerahan pada zaman Motang Rua (menjelaskan situasi Hindia Belanda), dan peran Motang Rua dalam perjuangan kemerdekaan negara Indonesia.  Rangkaian poin-ini dibuat  dalam bentuk sub bab judul yang membantu pembaca untuk mengetahui alur kehadiran Motang Rua sebagai pahlawan daerah Manggarai dalam menentang penjajah.
A.    Sekilas tentang Motang Rua
Akhir-akhir ini nama Motang Rua tidak asing lagi bagi masyarakat Manggarai. Tokoh kelahiran tahun 1860 di Beo Kina, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai tersebut menjadi wacana masyarakat Manggarai saat ini. Hal itu tampak dalam artikel Floresa.co pada 10 November 2016, dia adalah salah satu pejuang yang menentang penjajah Belanda atas tanah Manggarai-Flores, Nusa Tenggara Timur abad ke-20. Artikel ini ditulis sebagai bagian dari peringatan Hari Pahlawan yang dirayakan setiap 10 November 2016.
Awal perjuangan Motang Rua sebenarnya dilatarbelakangi oleh tindakan semena-mena dari penjajah Belanda terhadap  masyarakat Manggarai. Ada beberapa kebijakan pemerintah Belanda yang menurutnya merugikan masyarakat Manggarai. Sebagai contoh, pemerintah Belanda memaksa masyarakat Manggarai membawa alang-alang dan kayu ke Ruteng untuk kepentingan pembuatan kantor pemerintahan Belanda. Selain itu, masyarakat Manggarai diminta untuk memberikan upeti kepada pemerintah Belanda.
Sebagai bentuk perencanaan perlawanan awal, hal pertama yang Motang Rua lakukan ialah dengan melakukan konsolidasi kekuatan. Sejumlah orang diajaknya untuk melakukan perlawanan, seperti Sesa Ame Bembang, Padang Sama Naga, Naga Ame Demong, Lapa Ame Sampu, Angko, Rumbang, Tengga Ame Gerong, Sade Ame Mpaung, Nompang Ame Tilek, dan Ulur. Orang-orang ini setuju dengan Motang Rua dan ikut terlibat dalam melakukan perlawanan (Floresa.co, 2014).  Hal ini sebenarnya secara tidak langsung menyatakan bahwa kemampuan Motang Rua terletak pada bagaimana dia mempengaruhi kedaluan (kerajaan daerah) untuk menentang penjajah Belanda.
Motang Rua pernah dipenjarakan oleh pemerintah Belanda sebagai konsekuensi  dari tindakan “provokasinya” terhadap orang penting Manggarai dan perlawanannya terhadap pemerintah Belanda pada waktu itu. Tindakannya yang dianggap pertentangan oleh Belanda ialah merusak alang-alang, ijuk, dan balok yang dibawa ke Ruteng, dan Motang Rua mengajak orang Manggarai lainnya untuk melawan pemerintah Belanda. Selain itu, Motang Rua juga pernah membunuh utusan khusus pemerintah Belanda.
Motang Rua dipenjarakan di beberapa tempat, antara lain Camplong, Nusa Kembang, dan koloni Belanda. Tidak berhenti sampai di situ, Motang Rua dibuang ke Saigon karena dianggap tawanan berat (Pukan Bone, 2016). Pengalaman penjara dan pembuangan seperti ini wajar dialami Motang Rua pejuang daerah sebagaimana pahlawan dari daerah lain pada masa itu.
Ketika menjalani masa pembuangan di Saaigon, Motang Rua menikahi anak seorang tentara berpangkat Letnan. Hasil perkawinan keduanya dikarunia tiga orang anak, dua putri dan seorang putra. Anak ketiga Motang Rua diberi nama Motang Rua agar dia dikenang di Saigon (pilipus, diwancarai Pukan Bone tanggal 9 Juli 2016). Pemberian nama tersebut dilakukan dalam perjalanan pulang Motang Rua ke Beo Kina. Ketiga anak Motang Rua pernah mengunjungi kampung Beokina, Manggarai. Hal ini mengindikasikan bahwa keluarga Motang Rua di Saigon memiliki relasi yang baik dengan keluarga di Beokina.
Motang Rua pulang ke kampung halamannya dengan izin letnan di Saigon. Dia mendapat izin karena keuletannya memelihara bebek dan ayam kepunyaan letnan. Kepulangannya disambut dengan syukuran meriah. Warga kampung Beokina menyiapkan empat kaba rae (kerbau putih) untuk menyambut kedatangannya. Mereka mensyukuri pejuang mereka yang telah hilang, kini kembali hidup di tengah mereka (Pukan Bone, 2016). Hal ini menjadi alasan betapa pentingnya Motang Rua di mata masyarakat Beokina dan sekitarnya.  Motang Rua menjadi motor penggerak perlawanan masyarakat daerah terhadap penjajahan Belanda.
B.     Perlawanan Kedaerahan terhadap Pemerintah Belanda
Belanda menguasai Manggarai, bagian Barat Flores, pada abad ke-16. Penguasaan itu tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui kerajaan Goa-Makasar, yang saat itu membawahi wilayah Manggarai. Dengan kata lain, kerajaan Goa hadir sebagai kaki tangan Belanda di Manggarai. Ekspansi langsung Belanda ke Manggarai terjadi dalam tiga kali ekspedisi, yaitu tahun 1850, 1890, dan tahun 1905 (FloresKita.com, 29 November 2016).
Pada tahun 1860-an, Manggarai dihantui dengan kehadiran salah satu kerajaan  penjajah dari Hindia Belanda sendiri, yaitu kerajaan Bima. Kerajaan Bima merupakan kerajaan taklukan Gowa, sehingga kerajaan Bima wajib memberikan upeti kepada Gowa termasuk daerah jajahan mereka Manggarai. kenyataan ini membentuk struktur pemerintahan yang jelas, antara lain pemerintah Belanda menguasai Gowa, Gowa menguasai Bima, dan Bima menguasai Manggarai. Dengan begitu, Belanda memiliki hak untuk menguasai Manggarai.
 Kerajaan Bima melakukan penindasan terhadap masyarakat Manggarai dalam bentuk kebijakan ekonomi. Hal itu menimbulkan perlawanan dari kerajaan Dalu Todo. Pada tahun 1915 seluruh kedaluan di Manggarai menyatakan diri bebas dari Bima (floresa.co, 2 Mei 2016). Maka, pada tahun 1900 kekuasaan Bima di Manggarai memudar. Kenyataan ini membuat pemerintah Belanda bingung, antara mempertahankan keturunan sultan Bima menjadi penguasa Manggarai atau memberi kesempatan kepada masyarakat  Manggarai sendiri.
keputusan Pemerintahan Belanda pada waktu itu ialah memberi kesempatan kepada masyarakat Manggarai sendiri. Hal itu ditandai dengan pengangkatan anak bungsu dari Tamur, pemimpin kedaluan Todo yang bernama Baroek untuk menjadi pemimpin Manggarai. Dengan begitu, kerajaan Manggarai menjadi kaki tangan pemerintah Belanda yang baru menggantikan kerajaan Bima.
 Kerajaan Manggarai mengulang apa yang dilakukan kerajaan Bima, yaitu meminta upeti dari masyarakat untuk diberikan kepada pemerintah Belanda. Hal ini tentu memancing perlawanan dari masyarakat sendiri. Masyarakat tidak menerima kebijakan kerajaan Manggarai untuk memberikan upeti kepada pemerintah Belanda, sehingga dalam prosesnya masyarakat melawan kerajaan Manggarai dan pemerintah Belanda.
Perlawan terhadap pemerintah Belanda tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Dalam skala yang lebih besar, perlawan terhadap pemerintah Belanda terjadi di Pulau Jawa. Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa menyebabkan masyarakat geram. Ketika pemerintah Belanda memutuskan untuk membangun jalan di atas tanah milik Pangeran Diponegoro, dia melakukan pemberontakan dengan dukungan masyarakat Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang jihad (Indonesia.investment.com, diunggah tanggal 4 Desember 2016).
pada tahun 1830, pemerintah kolonial belanda menerapkan kebijakan cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Penerapan kebijakan ini menyengsarakan masyarakat Jawa. Apalagi ditambahkan kebijakan pajak tanah yang nota bene menguntungkan pemerintah Belanda Sendiri dan pejabat Jawa  (Indonesia.investment.com, diunggah tanggal 4 Desember 2016).
Pada abad ke-19 pemerintah Belanda terus melakukan ekspansi geogaris dan mendominasi daerah-daerah di Indonesia. Hal itu melahirkan perlawanan dari masyarakat daerah. Pertempuan paling terkenal (pertempuran paling lama antara Belanda dengan rakyat pribumi) selama abad ini ialah perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 sampai 1913). Peperangan ini berakibat pada kematian lebih dari 100.000 orang  (Indonesia.investment.com, diunggah tanggal 4 Desember 2016). Hal ini menunjukkan betapa masyarakat aktif dalam menentang penjajah Belanda.
Akan tetapi, usaha masyarakat Indonesia untuk mengusir penjajah pada waktu itu belum berhasil.  Dalam beberapa peperangan, masyarakat Indonesia tetap kalah dari pemerintah Belanda. Hal ini dikarenakan perjuangan rakyat Indonesia pada waktu itu masih bersifat keadaerahan.
Motang Rua dan Kemerdekaan Indonesia
Pertanyaan berikutnya, apakah Motang Rua memiliki peran dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia? Jika kita berpikir logis, Motang Rua sebenarnya tidak secara langsung ikut memproklamasikan kemerdekaan, karena Motang Rua hidup cukup jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Namun,  ada salah satu alasan yang cukup penting, yaitu Motang Rua merekonstruksi pemikiran masyarakat Manggarai tentang normalisasi penjajahan. Motang Rua mempengaruhi masyarakat Beokina khususnya dan Manggarai umumnya bahwa mereka sedang dijajah dan harus melakukan perlawan kepada pemerintah Belanda.
Perlawanan Motang Rua bersifat kedaerahan sebagaimana situasi pada waktu itu dimana setiap daerah melakukan gerakan sendiri-sendiri. Masyarakat Indonesia di setiap daerah melakukan hal yang sama. Aceh bergerak sendiri, Jawa bergerak sendiri, Beokina bergerak sendiri, dan daerah lain pun demikian. Nasib setiap daerah pun sama, yaitu mengalami kekalahan dan pemimpinya dipenjarakan, bahkan di buang sampai ke Saigon seperti yang dialami Motang Rua.
Perjuangan Motang Rua dilakukan dengan mengadakan mobilisasi singkat dan membenahi benteng Kuwu (Watu Toge), sambil memboikot rakyat daerah Lelak, Ndoso, Kolang, Rahong, agar tidak mengantarkan bahan bangunan dan makanan ke tangsi Belanda di Puni, Ruteng. Motang Rua juga meminta Dalu-dalu lain untuk ikut bermobilisasi, antara lain Rahong, Lelak, Ndoso, Ndehes, dan Ruteng (Toda, 1999). Hal ini mengindasikan keberhasilan Motang Rua mempengaruhi daerah-daerah di Manggarai untuk melakukan perlawanan. Skala perlawanan yang dipimpin Motang Rua  pun lebih besar dari sebelumnya.
Bagaimana pun, Motang Rua Memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal itu dilakukannya melalui upaya menyadarkan dan “memprovokasi” masyarakat daerah untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Belanda. Hal itu mengawali perjuangan dan bersatunya daerah-daerah di Manggarai untuk melakukan menentang  terhadap Belanda.
Daftar Pustaka
Floresa co, 2014, Motang Rua: Kisah Heroik Pahlawan Manggarai, Floresa co. (Diunggah tanggal 4 Desember 2016).
Floresa co, 2015, Sejarah Kekuasaan Manggarai Raya, dari Perang Todo vs Cibal, hingga Pilkada Langsung, Floresa co. (Diunggah tanggal 4 Desember 2016).
Investment.com, Indonesia, 2016, Sejarah Penjajahan, Indonesia Investment.com. (Diunggah tanggal 4 Desember 2016).
Pukan, Bonne, 2016, Melirik Kisah Sejarah Pahlawan Manggarai Raya Motang Rua, NTT Satu.  (Diunggah tanggal 4 Desember 2016).
Toda, Dami N, 1999, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, Ende, Nusa Indah.
           




Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN STRUKTURALISME

PERBEDAAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PARLEMENTER, TERPIMPIN DAN DEMOKRASI PANCASILA

STATE AUXILIARY BODIES: Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis