POLITIK LINGKUNGAN: Mempertegas Kebijakan Politik Dalam Mengatasi Lingkungan

POLITIK LINGKUNGAN:
Mempertegas Kebijakan Politik Dalam Mengatasi Lingkungan

Adolfus Frederik
Mahasiswa sarjana FISIPOL UGM

Akhir-akhir ini kegiatan masyarakat dalam menghancurkan  lingkungan hidup sepertinya sudah dinormalisasikan dan diterima sebagai sesuatu yang wajar.  Aktivitas pembuangan sampah di sembarang tempat menjadi kebiasaan dan membentuk pola untuk  mengubah wilayah negara menjadi sebuah tempat sampah raksasa. Tidak ada data akurat tentang persentase sampah di Indonesia. Namun, beberapa daerah perkotaan di Indonesia sudah menghasilkan banyak sampah. Seperti dikutip dari geotimes dalam lingkungan.com,  secara keseluruhan, sampah di Jakarta mencapai 6.000 hingga 6.500 ton per hari. Sementara di Pulau Bali, jumlah sampah mencapai 10.725 ton per hari. Sedangkan untuk Kota Palembang, jumlah sampah naik tajam dari 700 ton per hari menjadi 1.200 ton per hari. Secara keseluruhan, jumlah total sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton/hari atau 0,7 kilogram/orang atau sekitar 67 juta ton/tahun.
Dengan data yang relatif besar ini, masyarakat justru termotivasi untuk terus menormalisasikan kegiatan pembuangan sampah di sembarang tempat. Dari waktu ke waktu, kesadaran akan pentingnya kebersihan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga mental masyarakat terus dikonstruksi dalam normalisasi aktivitas membuang sampah di sembarang tempat. Namun, sebagai akibat,  ketika musim hujan melanda, banjir merendam banyak daerah di Indonesia. Sebagai contoh, berita Liputan6 tanggal 13 Februari 2017, diberitakan Banjir di Banten meluas hingga merendam 430 desa di 17 kecamatan. Penyebab utamanya ialah lebar sungai semakin sempit, sebagai akibat pembuangan sampah di sungai.
Selain itu, dalam Kompas.com tanggal 11 Desember 2014 Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan fakta mencengangkan bahwa hutan Indonesia berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013, Indonesia kehilangan 4,6 juta hektar atau seluas provinsi Sumatra Barat, tujuh kali luas provinsi DKI Jakarta. EG Tugu Manarung, ketua perkumpulan FWI, mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan mengejutkan, yaitu setiap menit hutan Indonesia hilang sebesar tiga lapangan  sepak bola. Pada saat ini juga, hutan Indonesia kini tersisa 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatra, 8,9 juta hektar Sulawesi, 4,3 Juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di provinsi yang terkenal dengan provinsi pariwisata, yaitu Bali dan Nusa Tenggara.
Kerusakan hutan memiliki dampak serius bagi negara Indonesia. Tanah longsor dan banjir menjadi dua dampak dikenal selama ini. Namun, di samping itu kerusakan lingkungan dapat menyebabkan kekeringan, bahkan dampak yang lebih kompleks ialah pemanasan global, yang sekarang ini gencar dipersoalkan dan dicari solusi oleh dunia internasional. Semakin berkurangnya jumlah hutan di Indonesia menjadi catatan penting bagi warga negara Indonesia dalam merawat dan menjaga kelestarian hutan di Indonesia.
Titik-titik aktivitas  pertambangan semakin hari semakin bertambah. Penambahan jumlah titik pertambangan mengindikasikan bahwa aktivitas yang berdampak buruk ini diterima keberadaannya sebagai sesuatu yang mendukung kesejahteraan kehidupan warga negara Indonesia. Dalam kompas.com  tanggal 28 September 2012 membuktikan bahwa sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. Data ini tentu menyangkal eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, sebagai ekspektasi masa depan negara Indonesia, Kompas.com menunjukkan persentase izin pertambangan di Indonesia di masa depan. 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C. Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing Newmont dan Freeport.  
    Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan berubahnya pola ekonomi masyarakat (Kompas.com, 2012).
Realitas ini menjadi bagian kecil dari banyaknya penyebab kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi keberadaan komponen-komponen negara dalam mengelola proses dalam negara Indonesia sendiri. Apakah kehadiran pemerintah hanya sebagai bentuk formalitas dari sebuah negara? apakah lembaga-lembaga formal yang seharus memiliki fungsi untuk mendidik tindakan positif hanya mengajarkan tentang teori dan abstraksi tanpa tindakan? Atau apakah masyarakat yang memiliki peran penting dalam mengawasi pemerintah dan lembaga formal negara serta memiliki tanggung jawab terhadap proses dalam negara itu sendiri menampakkan sikap masa bodoh atau acuh tak acuh?
Dalam tulisan ini, sebagai bentuk jawaban untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup di Indonesia, penulis ingin memepertegas eksistensi pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup dalam bingkai politik lingkungan hidup. Politik lingkungan hidup merupakan kajian yang membahas interaksi antar berbagai elemen sistem (variable) di dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan publik yang menuju terbentuknya public policy terhadap masalah-masalah lingkungan. Secara komprehensif dibahas berbagai isu krisis lingkungan, ideologi politik lingkungan, gerakan lingkungan, sistem politik, partai politik dan lingkungan, dan proses politik dan lingkungan. Singkatnya, politik lingkungan hidup secara sederhana, meminjam istilah Bryant dan Bailey dimaknai sebagai bidang kajian dalam ilmu politik terhadap masalah-masalah lingkungan (Herman Hidayat, 2010). Melalui keputusan publik, solusi-solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan dapat dilakukan secara sistematis.
Politik lingkungan hidup memberikan kritik terhadap manusia yang sudah menjadi aktor dominan dalam merusakkan lingkungan dan  sebagai solusi sistematis dalam menggerakkan negara, lembaga formal, dan masyarakat dalam memperhatikan lingkungan hidup sebagai kebutuhan utama manusia. Harapannya, pengembangan politik lingkungan hidup bisa mewujudkan kelestarian lingkungan untuk kepentingan hari dan masa yang akan datang.
Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan  dan mempertegas bagaimana politik lingkungan yang sudah ada memberikan kontribusi positif terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia khususnya dan dunia umumnya dengan kebijakan-kebijakannya. Untuk membantu pembaca, penulis membagi pembahasan dalam beberapa poin, antara lain; konsep politik dan lingkungan, konsep politik lingkungan, kontribusi politik lingkungan dalam dalam mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia.

A.    KONSEP POLITIK LINGKUNGAN
Sebelum melihat konsep politik lingkungan,  konsep politik dan lingkungan perlu dilihat satu-persatu. Pembahasan perbagian konsep-konsep dasar ini bermanfaat untuk  memperjelas hakikat konsep serta korelasi keduanya, sehingga bisa menjelaskan politik lingkungan secara baik. Dengan begitu, politik lingkungan bisa dilihat sebagai suatu keutuhan untuk membangun usaha solutif dalam mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia.
Istilah politik tidak asing lagi dalam kehidupan manusia. Setiap proses koordinasi kehidupan selalu memiliki unsur politik. Dalam penyelesaian konflik, pemilihan pemimpin negara dan daerah, bahkan musyawarah dalam lembaga kecil atau pun kelompok kecil terdapat unsur politik. Politik berkaitan dengan musyawarah dan keputusan yang diambil dalam proses musyawarah itu sendiri.
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada 1576, kemudian Thomas Fitzbert dan Jeremy Bentham pada 1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud adalah ilmu negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang bersifat institusional yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah teori politik. Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu negara bukan lagi dalam pengertian insitusi statis, tetapi lebih maju dengan melihat negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat ( Cangara Hafid, 2016 : 23). Definisi ini memberi ruang berpikir bahwa politik tidak hanya terbatas pada pengelolaan sistem pemerintahan yang kaku. Sebaliknya, justru definisi ini bersifat dinamis karena melihat politik dengan mempertimbangkan  keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan sebuah negara.
Meriam Budiarjo (1992) mendefenisikan politik sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari system politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.  Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan, yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu. 
Ilmu politik mempelajari atau mengkaji politik, sistem politik (negara), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan umum (public policy), kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), dan pembagian atau alokasi (allocation) (Saragih, 2006).
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup, misalnya tanah, pepohonan, dan para tetangga. Sementara lingkungan abiotik mencakup benda-benda tidak hidup.
Pengertian lingkungan hidup adalah sebuah kesatuang ruang dengan segala benda dan makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku sosial, budaya, dan juga udara yang ada (Sridanti, 2016)
Pada dasarnya, substansi lingkungan hidup meraba banyak objek kajian ilmu, antara lain polusi, pembuangan limbah, kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kerusakan hutan, pembakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga, tidak heran akhir-akhir ini persoalan lingkungan hidup selalu menjadi tema utama dalam perdebatan nasional, bahkan internasional. Alasannya, alam merespon kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi dengan bencana banjir, tanah longsor, bahkan dalam skala yang lebih luas ialah pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.
Atas kesadaran dampak buruk dari kerusakan lingkungan tersebut, muncul konsep politik lingkungan. Apa itu politik lingkungan? Banyak ilmuwan yang memberikan definisi tentang politik lingkungan (Herman Hidayat, 2005);  Pertama, Peterson mengatakan bahwa politik lingkungan merupakan suatu pendekatan menggabungkan masalah lingkungan dengan politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara lingkungan manusia, dan antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat dalam skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan . Definisi ini menunjukkan perkawinan dua pendekatan kehidupan manusia, pendekatan lingkungan dengan pendekatan politik ekonomi. Artinya, dalam kesimpulan tertentu politik lingkungan dilihat sebagai  pengaruh politik terhadap lingkungan hidup masyarakat.
            Kedua, Bryant mendefenisikan politik lingkungan sebagai  usaha untuk memahami sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan. Sedangkan Blaike dan brookfield melihat politik lingkungan sebagai suatu bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan natara masyarakat lokal, nasional, politik ekonomi global dan ekosistem.
            Ketiga, Abe ken-ichi mendefenisikan politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi, dengan maksud  itu diperoleh studi akademik atau aplikasi yang bersifat praktis.
            Sedangkan Vayda menjelaskan politik lingkungan adalah suatu metode terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal sebagai “progressive contextualization” (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam.
            Politik lingkungan adalah sama atas suatu metode terapan oleh ahli ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal dengan sebutan progressive contextualization (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks dengan apa mereka berbuat atau tidak berbuat dalam cara yang khsusus terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini juga bermaksud untuk menerangkan mengapa masyarakat menggunakan lingkungan dalam cara-cara yang khusus, kadang-kadang menyebabkan sumberdaya berkurang atau rusak sehingga dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar (Herman Hidayat, 2005)
            Dari beberapa definisi politik lingkungan menurut para ahli ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik lingkungan merujuk pada kajian intelektual tentang  fenomena-fenomena lingkungan yang terjadi. Entah itu relasi antar masyarakat dengan lingkungan, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menanggapi masalah lingkungan, korelasi politik dengan lingkungan, atau pun planning (rencana) strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan lingkungan dan bagaimana mengembangkan lingkungan hidup sebagai prioritas pelestarian negara.
            Politik lingkungan menjadi kebutuhan pokok dalam negara. Kajian ini menjadi framing kerja struktural dalam pemerintahan nasional. Banyak lembaga antar pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam aktivitas pembuatan kebijakan, aturan perundang-undangan lingkungan hidup, penelitian, monitoring, training, proyek pembiayaan dan supervisi (Herman Hidayat, 2005).
            Maka, negara Indonesia yang pada saat ini mengalami krisis lingkungan perlu menegakkan politik lingkungan dan menjadikannya sebagai kebutuhan pokok dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Politik lingkungan menjadi fondasi untuk melihat penyebab mendasar terjadinya kerusakan hutan, menjamurnya pertambangan, pencemaran udara akibat limbah dan sampah yang bertumpuk. Selain itu, dengan pendekatan politik lingkungan, Indonesia mampu membuat kebijakan-kebijakan dan aturan untuk kepentingan mengatasi kerusakan lingkungan serta rencana strategis untuk menjaga pelestarian lingkungan.

B.     INDONESIA DAN POLITIK LINGKUNGAN
            Problem mengenai kerusakan lingkungan di Indonesia telah menjadi problema klasik. Kita ambil contoh pada tahun 1993 di daerah pedesaan pinggir pantai Lombok daerah dimana sebelumnya anak-anak kecil menangkap ikan dengan leluasa di laut namun kondisinya berubah ketika mulai lebih banyak orang mencoba mengambil keuntungan dengan menjaring nener (sejenis ikan kecil) lebih banyak menggunakan perahu bermotor yang akibatnya sisa minyak dan oli yang digunakan terbuang ke laut dan membuat permukaan air laut yang dulunya cerah dan transparan menjadi gelap pekat. Tak hanya itu saja terumbu karang yang seharusnya menjadi tempat berlindung dan  berkembangbiak hewan-hewan laut pun dieksploitasi warga sekitar untuk dijakdikan pondasi rumah ataupun campuran semen. Artikel mengenai hal ini ditulis oleh Sukatip sekolah pengajar sekolah dasar yang mengutarakan masalah ini di majalah terbitan lokal berjudul Geram akronim dari Gerakan Anak Merdeka.
            Pada masa Orde Baru, kota Batam yang hanya berjarak satu jam perjalanan laut dari negara industri Singapura diproyeksikan untuk menjadi etalase dari kemajuan industri Indonesia. Tapi kenyataan yang harus dihadapi lingkungan masyarakat sekitarnya tidak seindah yang dibayangkan. Dampak dari pembangunan pabrik dan arus industrialisasi menghasilkan ratusan ribu ton limbah yang dibuang bebas ke laut tanpa regulasi yang berarti untuk mencegahnya. Akibatnya dilaporkan bahwa banyak pekerja di kota Batam yang menderita penyakit ataupun infeksi kulit ataupun gangguan pernafasan dan sederet masalah kesehatan lain. Masalah pencemaran air di negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa dimensi yang berkaitan, diantaranya teknologi (karena berkaitan dengan sistem industri yang menghasilkan emisi bersih), ekonomi (dorongan untuk mendapatkan optimalisasi produksi dengan mengesampingkan dampak lingkungan), serta hukum (dukungan yang diberikan untuk pengawasan lingkungan di Indonesia belum tegas dan implementasinya pun belum sistemik).
            Terlepas dari dimensi yang sudah diungkapkan tadi masih ada sisi yang yang sebenarnya punya potensi efektif untuk menanggulangi permasalahan lingkungan di Indonesia, yaitu dimensi politik. Politik memiliki kuasa yang ampuh karena disanalah kebijakan industrialisasi dicetuskan termasuk perencanaan dan pengembangannya. Namun sangat disayangkan minimnya partisipasi politik masyarakat yang berkaitan dengan pembuatan keputusan kebijakan lingkungan, ditambah lagi dengan adanya tabrakan kepentingan antara pengusaha yang notabene memberikan back up bagi politisi, kelompok birokrat yang beradu kepentingan serta aparat keamanan yang ikut menikmati hasil dari memberikan jaminan keberlangsungan bisnis industri di Indonesia. Hal ini tentu saja sering menjadi batu penghalang bagi kelancaran penciptaan lingkungan hidup yang layak huni serta keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat melimpah dengan bijaksana dan "hijau".
            Ada sebuah cerita mengenai politik lingkungan di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, tepatnya di dukuh Tapak yang berada di kecamatan Tugu kota Semarang. Sebagai salah satu kota di Jawa Tengah yang lebih dulu mengalami interaksi dengan bisnis dan modernisasi sejak tahun 1970-an telah berdiri pabrik pemrosesan bahan kimia, makanan kemasan, sabun, bahan tekstil dan industri kertas di kota ini. Tahun 1991 pabrik dari perusahaan PT Semarang Diamond Chemicals telah berdiri selama 14 tahun di dukuh Tapak. Pabrik ini didirikan oleh seorang pengusaha ternama Jawa Tengah yang bernama Budiarso (Bhe Hok Djwan) untuk memproses kalsium sitrat, sebuah zat kimia yang digunakan dalam minuman bersoda seperti Coca Cola dan Fanta, pembangunan pabrik ini erat hubungannya dengan pendirian pabrik Coca Cola di kota yang sama beberapa saat sebelumnya. Namun situasi bisnis ini tidak terlalu menguntungkan bagi warga sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani yang memanfaatkan sawah dengan irigasi dekat pabrik juga beberapa nelayan yang melaut di perairan sekitar perusahaan. Ratusan hektar sawah yang sumber pengairannya berasal dari sungai Tapak tidak menghasilkan hasil yang maksimal dan cenderung tidak lagi subur untuk ditanami padi. Aparat setempat yang masih berpegang pada aturan lingkungan warisan kolonial Belanda ketika itu tidak cukup berdaya untuk memberi ultimatum pada perusahaan. Pihak perusahaan pun dengan dalih bahwa masalah lingkungan harusnya diselesaikan oleh pemerintah menyangkal ketika diminta pertanggungjawaban oleh warga sekitar yang dirugikan.
            George Aditjondro sebagai salah satu ahli problem lingkungan mengemukakan mengenai penelitiannya tentang polusi dukuh Tapak bahwa kerugian materiil warga yang terdampak "tidak terhitung" banyaknya. Para warga yang mengandalkan hidupnya dari irigasi dan perairan sekitar pabrik dipaksa secara halus untuk mencari penghidupan lain atau memilih untuk bersedia ditransmigrasi atau pindah ke daerah lain yang masih berpotensi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Warga bersikeras bahwa secara kultural dan historis mereka sudah terbiasa hidup dari generasi ke generasi di tempat itu untuk menjadi petani, bercocok tanam ataupun sebagian mencari ikan di laut. Sudah tentu warga menolak opsi untuk direlokasi ke wilayah lain.
            Berbagai advokasi dan usaha warga yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil dilakukan selama bertahun-tahun. Setelah menghadapi oposan dari kelompok masyarakat, NGO dan pemerintahan lokal akhirnya PT SDC melunak dan bersedia memberi settlement atas eksploitasi bisnis mereka selama ini. Sepuluh tahun sejak masalah pencemaran ini dilaporkan oleh warga sekitar pabrik tepatnya pada bulan September 1991 PT SDC dan warga mencapai kesepakatan dalam pemberian ganti rugi atas degradasi kehidupan yang menyudutkan masyarakat sekitar. Sebanyak Rp 225 miliar diserahkan kepada warga sebagai kompensasi ganti rugi pada 247 warga terdampak. Namun sebelum ini jalan yang ditempuh oleh warga tidaklah mudah. Mereka mengalami intimidasi dari aparat keamanan bayaran pabrik, organisasi aktivis pemuda sempat dituduh simpatisan komunis, dan ada pula warga yang disuap Rp 2,5 miliar untuk menyetujui keberlangsungan bisnis perusahaan.
            Hasil dari kesepakatan warga dan pabrik menghasilkan beberapa keputusan yang harus ditaati dan dijalankan, diantaranya :
1. Mayoritas warga menolak untuk direlokasi, dalam hal ini mereka mendapat perlindungan dari kepala desa serta pemerintahan desa setempat
2. Pabrik harus memasang instalasi pembuangan limbah industri yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan ketika itu.
3. Beberapa NGO yang terlibat dalam pembelaan kepentingan warga mengancam akan memboikot produk yang dihasilkan pabrik pencemar sungai bila perusahaan tidak segera menyelesaikan masalah ganti rugi, meskipun pada akhirnya kebijakan boikot ini tidak dilaksanakan karena pabrik bersedia membayar kompensasi ketika itu namun ide ini menjadi inspirasi bagi gerakan serupa pada masalah kelingkungan.
            Pada kasus Tapak ini kita dapat melihat mengenai jalannya politik lingkungan yang ada di Indonesia. Lemahnya penegakan hukum mengenai kelayakan lingkungan dan tidak adanya koordinasi yang baik antara tatanan level pemerintahan dalam melakukan pengawasan lingkungan memberi celah bagi bisnis yang mengeruk keuntungan dengan meminimalkan perhatian pada keberlangsungan ekosistem dan keseimbangan ekonomi. Lebih dari itu kasus ini menunjukkan betapa tidak berdayanya warga yang selama sepuluh tahun yang terapar akibat efekpolusi terus memperjuangkan haknya, dan mereka pun harus dibantu oleh relawan organisasi masyarakat sipil dalam memperoleh keadilan.
            Kasus ini sebenarnya melihat bahwa ada beberapa kendala utama dalam mengatasi kerusakan lingkungan. `Pertama, kurangnya ketegasan hukum terhadap oknum-oknum atau pun lembaga perusak lingkungan, masyarakat belum terlibat aktif dalam memperjuangkan pelestarian lingkungan, dan kurangnya pendidikan lingkungan. Maka, melalui jalur politik lingkungan pemerintah harus melihat dan menegakkan kembali peraturan dan kebijakan pelestarian lingkungan, memfasilitasi masyarakat sipil, dan mengefektifkan pendidikan dan sosialisasi  lingkungan.
            a). Penegakkan Peraturan Lingkungan Hidup
Perhatian pemerintah dalam pelestarian lingkungan muncul dengan menhasilkan undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang  ketentuan-ketentuan pokok pengolahan hidup. Dalam undang-undang ini, dipaparkan mengenai bagaimana lingkungan dan sumber daya diolah agar kelestariannya tetap terjaga. Selain itu, larangan terhadap eksploitasi yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan menjadi perhatian utama dalam undang-undang ini.
Sejalan dengan terjadinya pergantian pemerintahan di Indonesia, pada tahun 2004 yang lalu telah diadakan pemilihan umum untuk pertama kalinya memilih langsung Presiden RI, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.  Dalam ketentuan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada poin 8 tentang Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Hidup dan Sumber Daya  Alam, dinyatakan bahwa peningkatan akses masyarakat miskin  dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan  sumber daya alam dilakukan melalui berbagai program (Tijow Lusiana, 2016).
Program-program tersebut antara lain (Supriadi, 2008:  174-175):
1. Program Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Di dalam program sumber daya hutan ini tercakup 2 (dua) hal: (a) Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam yang berpihak pada masyarakat dan memperhatikan pelestarian hutan; (b) Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat.
2. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Di dalam program ini tercakup 8 (delapan) hal, yakni: (a) Restrukturisasi peraturan tentang pemberian Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam; (b) Penguatan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (c) Pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal; (d) Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga lingkungan; (e) Pengembangan kerja sama kemitraan dengan lembaga masyarakat setempat dan dunia usaha dalam pelestarian dan perlindungan sumber daya alam; (f) Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan kemampuan konservasi sumber daya alam; (g) Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau, terumbu karang, dan lainlain) berbasis masyarakat; (h) Meningkatkan dan mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.
3. Program pengembangan Kapasitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Di dalam program ini terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sorotan, yaitu:
(a) Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat; (b) Pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam yang memberikan hak kepada masyarakat secara langsung; (c) Berorientasi kerja sama dengan perusahaan multinasional yang memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup agar lebih berpihak pada masyarakat miskin; (d) Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; (e) Meningkatkan dan mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.
4. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. Di dalam program ini mencakup: Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam upaya pemisahan sampah;
 5. Penegakan hukum bagi pihak yang merusak sumber daya alam dan lingkungan hidup; Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dan lembaga internasional dalam mengatasi dan mencegah pencemaran lingkungan hidup dan mengembangkan kode etik global bagi perusahaan multinasional.
Saat ini kebijakan lingkungan hidup Indonesia untuk jangka panjang mengacu pada Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) dalam 20 tahun ke depan dalam berbagai aspek/sektor pembangunan sebagai upaya menyebarkan dan mencapai tujuan nasional sebagaimana tersebut dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun misi jangka panjang Indonesia yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada pada Visi dan Misi Pembangunan Nasional 2005-2025, pada butir ke 6, yaitu: “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari”.  Dalam rangka mewujudkan Indonesia yang  asri  dan  lestari  sasaran  dan  arah  pembangunan  Lingkungan  Hidup  yang digariskan dalam RPJP 2005-2025 sesuai Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang RPJP telah ditetapkan oleh pemerintah. Sasaran RPJP 2005-2025 tentang lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, sebagai berikut (Presiden RI, 2007): “Sasaran RPJP 2005-2025 khususnya Lingkungan Hidup:
1. Membaiknya  pengelolaan  dan  penggunaan  SDA  dan  pelestarian  fungsi  LH yang dicerminkan oleh  tetap  terjaganya  fungsi daya dukung dan kemampuan pemulihannya  dalam  mendukung  kualitas  kehidupan  sosial  dan  ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. 
2. Terpeliharanya  kekayaan  keragaman  jenis  dan  kekhasan  SDA  untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan. 
3. Meningkatnya  kesadaran,  sikap  mental  dan  perilaku  masyarakat  dalam pengelolaan SDA dan pelestarian  fungsi LH untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan.” Arah kebijakan RPJP 2005-2025 tentang lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yaitu (Presiden RI, 2007): “Arah RPJP 2005-2025 khususnya Lingkungan Hidup
 1. Mendayagunakan SDA yang terbarukan. SDA  terbarukan  dimanfaatkan  secara  rasional,  optimal,  efisien  dan bertanggung  jawab dengan menggunakan  seluruh  fungsi dan manfaat secara seimbang.
 2. Mengelola SDA yang tidak terbarukan. Pengelolaan SDA tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber energi  diarahkan  untuk  tidak  dikonsumsi  secara  langsung,  melainkan diperlakukan  sebagai  masukan,  baik  bahan  baku  maupun  bahan  bakar, untuk proses produksi yang dapat menghasilkan nilai  tambah optimal di dalam negeri.
3. Menjaga keamanan ketersediaan energi. Menjaga keamanan ketersediaan energi diarahkan untuk menyediakan energi dalam  waktu  yang  terukur  antara  tingkat  ketersediaan  sumber-sumber  energi  dan tingkat kebutuhan masyarakat.
4.  Menjaga dan melestarikan sumber daya air. Pengelolaan  diarahkan  menjamin  keberlanjutan  daya  dukungnya  dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah.
5. Mengembangkan sumber daya kelautan. Pembangunan  ke  depan  perlu  memperhatikan  pendayagunaan  dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Pemanfaatan sumber daya tersebut melalui  pendekatan  multisektor,  integratif  dan  komprehensif  untuk meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya.
6. Meningkatkan nilai  tambah  atas  pemanfaatan SDA  tropis  yang unik  dan khas. Deversifikasi  produk  dan  inovasi  pengolahan  hasil  SDA  terus  dikembangkan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi.
7. Memperhatikan dan mengelola  keragaman  jenis SDA  yang  ada di  setiap wilayah. Pengelolaan  SDA  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  lokal, mengembangkan  wilayah  strategis.
dan  cepat  tumbuh  serta  memperkuat daerah dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
8. Mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. Mengembangkan  kemampuan  sistem  deteksi  dini,  sosialisasi  dan  desiminasi informasi terhadap ancaman kerawanan bencana alam kepada masyarakat.
9. Mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pembangunan  ekonomi  diarahkan  pada  pemanfaatan  jasa  lingkungan    yang ramah  lingkungan.  Pemulihan  kondisi  lingkungan  untuk  meningkatkan  daya dukung lingkungan.
10. Meningkatkan kapasitas pengelolaan SDA dan LH. Meliputi:  peningkatan  kelembagaan,  penegakan  hukum,  SDM  yang berkualitas,  penerapan  etika  lingkungan,  internalisasi  etika  lingkungan  dalam kegiatan produksi, konsumsi, pendidikan formal dan kehidupan sehari-hari. 11. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan.
Program-progam ini seharusnya menjadi fondasi bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memberi perhatian penuh terhadap kelestarian dan penggunaan sumber daya secara bijak.
b). Mempertegas eksistensi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan )  
Sebagai bentuk tindakan preventif,  pemerintah harus menegakkan kembali kebijakan tentang AMDAL, Dalam beberapa fenomena kerusakan lingkungan,  seperti aktivitas pertambangan dan pembangunan, pengambaian terhadap AMDAL menjadi kesalah utama. Sehingga, tidak jarang AMDAL diperbincangkan setelah persoalan  kerusakan muncul. Padahal AMDAL seharusnya didiskusikan sebelum pengelolaan sumber daya alam dilakukan.
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dalam Peraturan Pemerintah NO 27 TAHUN 1999 memiliki pengertian yaitu kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan  pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia.
AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek abiotik, biotik dan kultural.
Dasar hukum AMDAL di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang “Izin Lingkungan Hidup” yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Secara umum AMDAL mempunyai tujuan yaitu untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan atau kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan atau kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelola dan pemantauan lingkungan hidup, memberi informasi bagi masyarakat atas dampak ditimbulkan dari suatu rencana usaha dann atau kegiatan, awal dari rekomendasi tentang izin usaha, sebagai Scientific Document dan Legal Document, izin Kelayakan Lingkungan, menunjukkan tempat pembangunan yang layak pada suatu wilayah beserta pengaruhnya, sebagai masukan dengan pertimbangan yang lebih luas bagi perencanaan dan pengambilan keputusan sejak awal dan arahan atau pedoman bagi pelaksanaan rencana kegiatan pembangunan termasuk rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan (Arikelsiana, 2015).
Ketika AMDAL efektif diterapkan dalam tahap pengeloaan sumber daya alam, maka kemungkinan-kemungkinan terjadi kerusakan lingkungan sangat berkurang. AMDAL menjadi kebijakan utama pemerintah sebelum aktivitas pengelolaan sumber daya alam dilakukan, sehingga patut mendapat perhatian utama dari pemerintah dan menjadi kebijakan politik aktif dan permanen dalam negara Indonesia.
c). Masyarakat Sipil
Pemerintah juga perlu mefasilitasi mengefektifkan peran masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan lingkungan di Indonesia. Sebagaimana pemerintah belum mampu mengatasi semua persoalan kerusakan lingkungan hidup, masyarakat sipil perlu dilibatkan secara total. Hal itu bertujuan untuk mempercepat menjawab persoalan lingkungan ynag terjadi di Indonesia.
Dalam kajian akademis kontemporer, pengertian "masyarakat sipil" biasanya didefinisikan pada preferensi sebuah level yang menjembatani antara negara yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan yang rakyat yang diperintah (Cohen dan Arato: 1992). Pengertian ini juga memiliki kriteria yang memberi kerangka spesifik atas makna tadi, diantaranya bukan merupakan organisasi pemerintahan, terlibat dalam aktivitas pelayanan dan advokasi publik, dapat berupa yayasan, ataupun yang didirikan oleh perorangan, asosiasi profesional, menyuarakan pergerakan sosial, serta memiliki jaringan aktivis. Salah satu faktor kunci yang membedakan masyarakat sipil dengan organisasi serupa lainnya adalah tujuan organisasi yang nirlaba, dan dalam mencapai tujuan kelompok mereka menempuh jalan yang tanpa kekerasan. Pada perkembangannya dampak pengaruh globalisasi yang mempermudah komunikasi antar manusia, tersebarluasnya sistem nilai dalam masyarakat, munculnya kelompok informal yang berbasiskan asosiasi dan jaringan pertemanan, menjamurnya komunitas yang berdasarkan satu kepentingan, etnis, kepercayaan ataupun budaya memainkan peran penting dalam memasyarakatkan organisasi masyarakat sipil.
            Organisasi masyarakat sipil dapat beroperasi secara efektif dengan sebuah paradigma yang dikenal dengan "soft power", yaitu melalui langkah-langkah persuasif dan negosiasi yang ditujukan secara langsung pada input sistem pembuatan kebijakan yang kemungkinan akan melahirkan peraturan sosial yang menguntungkan dalam arti pelayanan masyarakat secara efisien dalam sektor yang belum terpenuhi secara memuaskan oleh pemerintah. Meskipun cara ini tidak terkesan konfrontasional, namun "soft power" yang dilakukan masyarakat sipil pada situasi tertentu justru lebih dapat menunjang keberlangsungan hasil positif yang diperoleh kelompok yang diperjuangkan (kelompok yang mengalami ketidakadilan sehingga didampingi oleh organisasi masyarakat sipil). Mayoritas dari organisasi semacam ini yang lahir pada 1990-an menjalankan kepentingannya dengan cara yang kooperatif dengan otoritas negara yang ada. Pada kasus seperti di Afrika, Asia ataupun Amerika Selatan dimana pemerintahan yang berlangsung tidak cukup demokratis untuk mengakomodasi kelompok seperti masyarakat sipil maka organisasi ini melakukan pendekatan "soft power" dan berkasi dengan "sembunyi" sehingga dapat terjaga keberadaannya dan tetap mengusung perjuangan misi sosial.
            Jumlah dari organisasi masyarakat sipil mungkin akan terus bertambah di negara-negara dengan budaya politik yang akan menuju status demokratis ataupun sudah mencapai tahap demokratis. Dengan kapabilitas untuk bergerak secara vertikal maupun horizontal dalam tatanan sosial masyarakat, bukan tidak mungkin akan semakin banyak perubahan sosial yang akan terjadi. Banyak contoh dimana masyarakat sipil berafiliasi dengan organisasi peduli kemanusiaan, peduli lingkungan ataupun aktivis ketimpangan sosial telah berhasil melakukan persuasi yang mengena pada dampak yang dihasilkan. Dengan berfokus pada meningkatkan taraf kehidupan manusia dan mentargetkan pada kalangan bawah yang dianggap berpotensi besar, masyarakat sipil telah berada di garis depan dalam mengisi kekurangan optimalisasi yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dalam banyak hal seperti penegakan Hak asasi manusia, pendidikan, kepedulian lingkungan, dll.
Organisasi masyarakat sipil dalam mengaplikasikan prinsip dasarnya dapat menyokong aktivitas pembangunan masyarakat. Kebutuhan masyarakat luas dapat terakomodir oleh kehadiran masyarakat sipil yang terus memberi dukungan baik berupa sosialisasi, edukasi, maupun advokasi kepentingan bersama. Kita ambil contoh OMS Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang menempatkan diri sebagai kelompok yang menyuarakan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Walhi sering menjadikan diri sebagai tameng advokasi warga masyarakat yang terkena dampak kerusakan lingkungan akibat industri, ketidakseimbangan ekosistem karena ulah manusia, atau bahkan melakukan pendampingan dalam berhadapan dengan korporasi besar yang menyumbang polusi ataupun mengeksploitasi secara berlebihan sumberdaya alam yang ada. Sebagai contoh WALHI melakukan aksi menolak pembangunan pabrik semen oleh sebuah perusahaan ternama di Rembang, Jawa Tengah tepatnya di dusun Kendeng. Ketika izin pembangunan pabrik dikeluarkan oleh otoritas provinsi pada tahun 2012 WALHI mulai aktif melakukan langkah yang mengantisipasi akan terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan yang dialami warga Kendeng. Tempo
            Penambangan semen yang dilakukan sendiri mengancam keberadaan cekungan air tanah (CAT) Watu Putih yang termasuk kawasan lindung geologis alam. Di tempat yang sedianya akan ditambang tersebut terdapat 109 mata air yang tersebar dan menjadi sumber kehidupan warga sekitar. Jika eksploitasi tambang benar akan dilakukan maka kemungkinan potensi air yang hilang sekitar 51 juta liter dan mengancam perairan untuk lokasi pertanian seluas 3020 hektar. kompas
            Tentu kita dapat membayangkan kerugian yang mungkin akan diderita oleh warga Kendeng dan sekitarnya apabila penambangan memperoleh izin dan terlaksana. Oleh karena peran WALHI disini sebagai organisasi masyarakat sipil adalah membela kepentingan rakyat yang belum dipenuhi dengan maksimal oleh pemerintah. Masyarakat sipil sebagai sarana untuk memperbaiki kesenjangan keadilan yang ada di masyarakat.
            Contoh di atas menujukkan peran penting masyarakat sipil dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Efektifnya masyarakat sipil dapat membantu percepatan cara mengatasi kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia.
C.     PENUTUP
Kerusakan lingkungan menjadi salah satu hal yang dapat mengganggu proses keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu, pemerintah dan bangsa Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup. Salah satu cara untuk mewujudkan hal itu ialah dengan menegakkan kembali politik lingkungan. Melalui politik lingkungan, pemerintah mampu memproduksi kebijakan pro kelestarian lingkungan, pun bisa mempertegas kebijakan-kebijakan yang sudah ada.
Hal utama yang bisa dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mempertegas peraturan perundang-undangan lingkungan hidup, serta kebijakan-kebijakan dalam program-program pemimpin negara. selain itu, pemerintah menegakkan kembali AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang bertujuan untuk mencegah terjadi berbagai kemungkinan kerusakan lingkungan jika melakukan pembangunan. selain dari pemerintah, masyarakat juga bisa terlibat dalam mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup. Hal itu harus mendapat dukungan dari pemerintah dengan mefasilitasi dan menjaga efektifitas masyarakat itu sendiri. Sekiranya ketiga hal ini cukup untuk mengatasi berbagai kerusakan lingkungan hidup di Indonesia jika didukung secara penuh oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

           


















DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Meriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Diamond, Larry. (2003), Developing Democracy: Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata Lingkungan. Edisi Kedelapan. Cetakan Kesembilan Belas. Yogyakarta: Gajah Mada  University Press.
 Hidayat, Herman  2005, Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
James, Helen. (2007), Introduction: Civil Society, Religion and Global Governance - The Power and Persuasiveness of Civil Society. Dalam H. James, Civil Society, Religion and Global Governance (hal. 2-3). New York: Routledge.
Januarti, Nur. E. (2007), Integrasi Organisasi Masyarakat Sipil di Lingkungan Sekolah. Socia Integrasi , 2-5.
Jemadu Aleksius,  2008, Politik Global Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Lucas, Anton. (1998), River Pollution and Political Action in Indonesia. Dalam P. Hirsch, & C. Warren, The Politics of Environment in Southeast Asia (hal. 181-195). London: Routledge.
Nurdin, Nazar,(2014, November 6). Kompas. Dipetik February 26, 2017, dari Kompas.com: https://www.kompas.com/read/2014/11/06/16151811/Walhi.pabrik.semen.ancam.607.198.warga.di.rembang.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005. Bab 32 tentang Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup.
Santosa, M. A, 2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan, ICEL. Jakarta: YLBHI.
Soemarwoto, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan.Universitas Indonesia Press.
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar,  Jakarta: Sinar Grafika.

Dari Internet:
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-amdal-fungsi-tujuan-manfaat-amdal.html
https://www.lingkunganhidup.co/sampah-plastik-indonesia-dunia/
http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Persen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang









           



            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN STRUKTURALISME

PERBEDAAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PARLEMENTER, TERPIMPIN DAN DEMOKRASI PANCASILA

STATE AUXILIARY BODIES: Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis