POLITIK LINGKUNGAN: Mempertegas Kebijakan Politik Dalam Mengatasi Lingkungan
POLITIK LINGKUNGAN:
Mempertegas Kebijakan Politik Dalam Mengatasi Lingkungan
Adolfus Frederik
Mahasiswa sarjana FISIPOL UGM
Akhir-akhir
ini kegiatan masyarakat dalam menghancurkan
lingkungan hidup sepertinya sudah dinormalisasikan dan diterima sebagai
sesuatu yang wajar. Aktivitas pembuangan
sampah di sembarang tempat menjadi kebiasaan dan membentuk pola untuk mengubah wilayah negara menjadi sebuah tempat
sampah raksasa. Tidak ada data akurat tentang persentase sampah di Indonesia.
Namun, beberapa daerah perkotaan di Indonesia sudah menghasilkan banyak sampah.
Seperti dikutip dari geotimes dalam lingkungan.com, secara keseluruhan, sampah di Jakarta
mencapai 6.000 hingga 6.500 ton per hari. Sementara di Pulau Bali, jumlah
sampah mencapai 10.725 ton per hari. Sedangkan untuk Kota Palembang, jumlah
sampah naik tajam dari 700 ton per hari menjadi 1.200 ton per hari. Secara
keseluruhan, jumlah total sampah di Indonesia mencapai 175.000 ton/hari atau
0,7 kilogram/orang atau sekitar 67 juta ton/tahun.
Dengan
data yang relatif besar ini, masyarakat justru termotivasi untuk terus menormalisasikan
kegiatan pembuangan sampah di sembarang tempat. Dari waktu ke waktu, kesadaran
akan pentingnya kebersihan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang tabu,
sehingga mental masyarakat terus dikonstruksi dalam normalisasi aktivitas
membuang sampah di sembarang tempat. Namun, sebagai akibat, ketika musim hujan melanda, banjir merendam
banyak daerah di Indonesia. Sebagai contoh, berita Liputan6 tanggal 13 Februari
2017, diberitakan Banjir di Banten meluas hingga merendam 430 desa di 17
kecamatan. Penyebab utamanya ialah lebar sungai semakin sempit, sebagai akibat
pembuangan sampah di sungai.
Selain
itu, dalam Kompas.com tanggal 11 Desember 2014 Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkapkan fakta mencengangkan
bahwa hutan Indonesia berkurang secara drastis. Dalam kurun waktu 2009-2013,
Indonesia kehilangan 4,6 juta hektar atau seluas provinsi Sumatra Barat, tujuh
kali luas provinsi DKI Jakarta. EG Tugu Manarung, ketua perkumpulan FWI,
mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu itu, kecepatan hilangnya hutan
mengejutkan, yaitu setiap menit hutan Indonesia hilang sebesar tiga
lapangan sepak bola. Pada saat ini juga,
hutan Indonesia kini tersisa 82 juta hektar. Masing-masing 19,4 juta hektar di
Papua, 26,6 juta hektar di Kalimantan, 11,4 juta hektar di Sumatra, 8,9 juta
hektar Sulawesi, 4,3 Juta hektar di Maluku, serta 1,1 juta hektar di provinsi
yang terkenal dengan provinsi pariwisata, yaitu Bali dan Nusa Tenggara.
Kerusakan
hutan memiliki dampak serius bagi negara Indonesia. Tanah longsor dan banjir
menjadi dua dampak dikenal selama ini. Namun, di samping itu kerusakan
lingkungan dapat menyebabkan kekeringan, bahkan dampak yang lebih kompleks
ialah pemanasan global, yang sekarang ini gencar dipersoalkan dan dicari solusi
oleh dunia internasional. Semakin berkurangnya jumlah hutan di Indonesia
menjadi catatan penting bagi warga negara Indonesia dalam merawat dan menjaga
kelestarian hutan di Indonesia.
Titik-titik aktivitas
pertambangan semakin hari semakin bertambah. Penambahan jumlah titik
pertambangan mengindikasikan bahwa aktivitas yang berdampak buruk ini diterima
keberadaannya sebagai sesuatu yang mendukung kesejahteraan kehidupan warga
negara Indonesia. Dalam kompas.com
tanggal 28 September 2012 membuktikan bahwa sekitar 70 persen kerusakan
lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. Data ini tentu
menyangkal eksistensi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, sebagai ekspektasi masa depan
negara Indonesia, Kompas.com menunjukkan persentase izin pertambangan di
Indonesia di masa depan. 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan
kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba).
Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar, wilayah kerja migas, panas
bumi, dan tambang galian C. Kawasan pesisir dan laut juga tidak luput dari
eksploitasi, lebih dari 16 titik reklamasi,
penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan limbah tailing
Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita, setidaknya 3,97
juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput
keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita pun
dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam
10 tahun terakhir. Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108
DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai melakukan pembiaran atas kehancuran
ini dan dibayar dengan kematian warga, kerusakan lahan, dan berubahnya pola
ekonomi masyarakat (Kompas.com, 2012).
Realitas ini menjadi bagian
kecil dari banyaknya penyebab kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi keberadaan komponen-komponen
negara dalam mengelola proses dalam negara Indonesia sendiri. Apakah kehadiran
pemerintah hanya sebagai bentuk formalitas dari sebuah negara? apakah
lembaga-lembaga formal yang seharus memiliki fungsi untuk mendidik tindakan
positif hanya mengajarkan tentang teori dan abstraksi tanpa tindakan? Atau
apakah masyarakat yang memiliki peran penting dalam mengawasi pemerintah dan
lembaga formal negara serta memiliki tanggung jawab terhadap proses dalam
negara itu sendiri menampakkan sikap masa bodoh atau acuh tak acuh?
Dalam tulisan ini, sebagai
bentuk jawaban untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup di Indonesia, penulis
ingin memepertegas eksistensi pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi dan
mengatasi kerusakan lingkungan hidup dalam bingkai politik lingkungan hidup. Politik
lingkungan hidup merupakan kajian yang membahas interaksi antar berbagai elemen
sistem (variable) di dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan publik
yang menuju terbentuknya public policy
terhadap masalah-masalah lingkungan. Secara komprehensif dibahas berbagai isu
krisis lingkungan, ideologi politik lingkungan, gerakan lingkungan, sistem
politik, partai politik dan lingkungan, dan proses politik dan lingkungan.
Singkatnya, politik lingkungan hidup secara sederhana, meminjam istilah Bryant
dan Bailey dimaknai sebagai bidang kajian dalam ilmu politik terhadap
masalah-masalah lingkungan (Herman Hidayat, 2010). Melalui keputusan publik,
solusi-solusi untuk mengatasi persoalan lingkungan dapat dilakukan secara
sistematis.
Politik lingkungan hidup memberikan
kritik terhadap manusia yang sudah menjadi aktor dominan dalam merusakkan
lingkungan dan sebagai solusi sistematis
dalam menggerakkan negara, lembaga formal, dan masyarakat dalam memperhatikan
lingkungan hidup sebagai kebutuhan utama manusia. Harapannya, pengembangan
politik lingkungan hidup bisa mewujudkan kelestarian lingkungan untuk
kepentingan hari dan masa yang akan datang.
Dalam tulisan ini, penulis
akan menguraikan dan mempertegas
bagaimana politik lingkungan yang sudah ada memberikan kontribusi positif
terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia khususnya dan
dunia umumnya dengan kebijakan-kebijakannya. Untuk membantu pembaca, penulis
membagi pembahasan dalam beberapa poin, antara lain; konsep politik dan
lingkungan, konsep politik lingkungan, kontribusi politik lingkungan dalam
dalam mengatasi kerusakan lingkungan di Indonesia.
A. KONSEP
POLITIK LINGKUNGAN
Sebelum melihat konsep
politik lingkungan, konsep politik dan lingkungan
perlu dilihat satu-persatu. Pembahasan perbagian konsep-konsep dasar ini
bermanfaat untuk memperjelas hakikat konsep
serta korelasi keduanya, sehingga bisa menjelaskan politik lingkungan secara
baik. Dengan begitu, politik lingkungan bisa dilihat sebagai suatu keutuhan
untuk membangun usaha solutif dalam mengatasi kerusakan lingkungan di
Indonesia.
Istilah politik tidak asing
lagi dalam kehidupan manusia. Setiap proses koordinasi kehidupan selalu
memiliki unsur politik. Dalam penyelesaian konflik, pemilihan pemimpin negara
dan daerah, bahkan musyawarah dalam lembaga kecil atau pun kelompok kecil
terdapat unsur politik. Politik berkaitan dengan musyawarah dan keputusan yang
diambil dalam proses musyawarah itu sendiri.
Istilah ilmu politik (science politique) pertama kali
digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada 1576, kemudian Thomas Fitzbert dan
Jeremy Bentham pada 1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud adalah ilmu
negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang
bersifat institusional yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah
teori politik. Dalam pandangan para sarjana Amerika, ilmu politik sebagai ilmu
negara bukan lagi dalam pengertian insitusi statis, tetapi lebih maju dengan
melihat negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (
Cangara Hafid, 2016 : 23). Definisi ini memberi ruang berpikir bahwa politik
tidak hanya terbatas pada pengelolaan sistem pemerintahan yang kaku.
Sebaliknya, justru definisi ini bersifat dinamis karena melihat politik dengan
mempertimbangkan keterlibatan masyarakat
dalam proses pengelolaan sebuah negara.
Meriam Budiarjo (1992)
mendefenisikan politik sebagai bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang
menjadi tujuan dari system politik itu menyangkut seleksi antara beberapa
alternative dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah
dipilih itu. Untuk melaksanakan
tujuan-tujuan itu tentu diperlukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut
pengaturan dan atau alokasi dari sumber-sumber resources yang ada. Untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan dan kewenangan,
yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakainya dapat
bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan ini hanya merupakan perumusan
keinginan belaka. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh
masyarakat, bukan tujuan pribadi seorang. Selain itu politik menyangkut
kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan individu.
Ilmu politik mempelajari
atau mengkaji politik, sistem politik (negara), pengambilan keputusan (decision
making), kebijakan umum (public policy), kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),
dan pembagian atau alokasi (allocation) (Saragih, 2006).
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar
manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Lingkungan dibedakan menjadi dua; lingkungan biotik dan lingkungan
abiotik. Lingkungan biotik adalah lingkungan yang hidup, misalnya tanah,
pepohonan, dan para tetangga. Sementara lingkungan abiotik mencakup benda-benda
tidak hidup.
Pengertian lingkungan hidup adalah sebuah kesatuang ruang dengan segala benda dan makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku sosial, budaya, dan juga udara yang ada (Sridanti, 2016)
Pengertian lingkungan hidup adalah sebuah kesatuang ruang dengan segala benda dan makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku sosial, budaya, dan juga udara yang ada (Sridanti, 2016)
Pada
dasarnya, substansi lingkungan hidup meraba banyak objek kajian ilmu, antara
lain polusi, pembuangan limbah, kerusakan lingkungan akibat pertambangan,
kerusakan hutan, pembakaran hutan, pencemaran lingkungan, dan lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Sehingga, tidak heran akhir-akhir ini persoalan
lingkungan hidup selalu menjadi tema utama dalam perdebatan nasional, bahkan
internasional. Alasannya, alam merespon kerusakan-kerusakan lingkungan yang
terjadi dengan bencana banjir, tanah longsor, bahkan dalam skala yang lebih
luas ialah pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini.
Atas
kesadaran dampak buruk dari kerusakan lingkungan tersebut, muncul konsep
politik lingkungan. Apa itu politik lingkungan? Banyak ilmuwan yang memberikan
definisi tentang politik lingkungan (Herman Hidayat, 2005); Pertama, Peterson mengatakan bahwa politik
lingkungan merupakan suatu pendekatan menggabungkan masalah lingkungan dengan
politik ekonomi untuk mewakili suatu pergantian tensi yang dinamik antara
lingkungan manusia, dan antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat dalam
skala dari individu lokal kepada transnasional secara keseluruhan . Definisi
ini menunjukkan perkawinan dua pendekatan kehidupan manusia, pendekatan
lingkungan dengan pendekatan politik ekonomi. Artinya, dalam kesimpulan tertentu
politik lingkungan dilihat sebagai
pengaruh politik terhadap lingkungan hidup masyarakat.
Kedua, Bryant mendefenisikan politik
lingkungan sebagai usaha untuk memahami
sumber-sumber politik, kondisi dan menjadi jaringan dari pergantian lingkungan.
Sedangkan Blaike dan brookfield melihat politik lingkungan sebagai suatu
bingkai untuk memahami kompleksitas saling berhubungan natara masyarakat lokal,
nasional, politik ekonomi global dan ekosistem.
Ketiga, Abe ken-ichi mendefenisikan
politik lingkungan sebagai suatu kolektif nama untuk semua usaha intelektual
untuk secara kritis menganalisis masalah ketepatan sumber daya alam dan asal
usul kerusakan sumber daya secara politik ekonomi, dengan maksud itu diperoleh studi akademik atau aplikasi
yang bersifat praktis.
Sedangkan Vayda menjelaskan politik
lingkungan adalah suatu metode terapan oleh ahli-ahli lingkungan yang
menganalisis kebijakan mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang
dikenal sebagai “progressive
contextualization” (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini memulai
dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang
langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks apa mereka berbuat atau tidak
berbuat dalam cara khusus terhadap suatu sumber daya alam.
Politik lingkungan adalah sama atas
suatu metode terapan oleh ahli ahli lingkungan yang menganalisis kebijakan
mengenai masalah lingkungan yang relevan, ini yang dikenal dengan sebutan
progressive contextualization (kontekstualisasi yang maju). Pendekatan ini
memulai dengan aktor (pelaku), dalam hal ini para pemakai sumber daya alam yang
langsung, dan mempertimbangkan suatu konteks dengan apa mereka berbuat atau
tidak berbuat dalam cara yang khsusus terhadap sumberdaya alam. Pendekatan ini
juga bermaksud untuk menerangkan mengapa masyarakat menggunakan lingkungan
dalam cara-cara yang khusus, kadang-kadang menyebabkan sumberdaya berkurang
atau rusak sehingga dapat membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar
(Herman Hidayat, 2005)
Dari beberapa definisi politik
lingkungan menurut para ahli ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa politik
lingkungan merujuk pada kajian intelektual tentang fenomena-fenomena lingkungan yang terjadi.
Entah itu relasi antar masyarakat dengan lingkungan, kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam menanggapi masalah lingkungan, korelasi politik dengan
lingkungan, atau pun planning (rencana)
strategis pemerintah dalam mengatasi persoalan lingkungan dan bagaimana
mengembangkan lingkungan hidup sebagai prioritas pelestarian negara.
Politik lingkungan menjadi kebutuhan
pokok dalam negara. Kajian ini menjadi framing
kerja struktural dalam pemerintahan nasional. Banyak lembaga antar
pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam aktivitas pembuatan
kebijakan, aturan perundang-undangan lingkungan hidup, penelitian, monitoring, training, proyek pembiayaan dan supervisi (Herman Hidayat, 2005).
Maka, negara Indonesia yang pada
saat ini mengalami krisis lingkungan perlu menegakkan politik lingkungan dan
menjadikannya sebagai kebutuhan pokok dalam mengatasi kerusakan lingkungan.
Politik lingkungan menjadi fondasi untuk melihat penyebab mendasar terjadinya
kerusakan hutan, menjamurnya pertambangan, pencemaran udara akibat limbah dan
sampah yang bertumpuk. Selain itu, dengan pendekatan politik lingkungan,
Indonesia mampu membuat kebijakan-kebijakan dan aturan untuk kepentingan
mengatasi kerusakan lingkungan serta rencana strategis untuk menjaga
pelestarian lingkungan.
B. INDONESIA DAN POLITIK LINGKUNGAN
Problem mengenai kerusakan
lingkungan di Indonesia telah menjadi problema klasik. Kita ambil contoh pada
tahun 1993 di daerah pedesaan pinggir pantai Lombok daerah dimana sebelumnya
anak-anak kecil menangkap ikan dengan leluasa di laut namun kondisinya berubah
ketika mulai lebih banyak orang mencoba mengambil keuntungan dengan menjaring
nener (sejenis ikan kecil) lebih banyak menggunakan perahu bermotor yang
akibatnya sisa minyak dan oli yang digunakan terbuang ke laut dan membuat
permukaan air laut yang dulunya cerah dan transparan menjadi gelap pekat. Tak
hanya itu saja terumbu karang yang seharusnya menjadi tempat berlindung
dan berkembangbiak hewan-hewan laut pun
dieksploitasi warga sekitar untuk dijakdikan pondasi rumah ataupun campuran
semen. Artikel mengenai hal ini ditulis oleh Sukatip sekolah pengajar sekolah
dasar yang mengutarakan masalah ini di majalah terbitan lokal berjudul Geram
akronim dari Gerakan Anak Merdeka.
Pada masa Orde Baru, kota Batam yang
hanya berjarak satu jam perjalanan laut dari negara industri Singapura
diproyeksikan untuk menjadi etalase dari kemajuan industri Indonesia. Tapi
kenyataan yang harus dihadapi lingkungan masyarakat sekitarnya tidak seindah
yang dibayangkan. Dampak dari pembangunan pabrik dan arus industrialisasi
menghasilkan ratusan ribu ton limbah yang dibuang bebas ke laut tanpa regulasi
yang berarti untuk mencegahnya. Akibatnya dilaporkan bahwa banyak pekerja di
kota Batam yang menderita penyakit ataupun infeksi kulit ataupun gangguan
pernafasan dan sederet masalah kesehatan lain. Masalah pencemaran air di negara
berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa dimensi yang berkaitan,
diantaranya teknologi (karena berkaitan dengan sistem industri yang
menghasilkan emisi bersih), ekonomi (dorongan untuk mendapatkan optimalisasi
produksi dengan mengesampingkan dampak lingkungan), serta hukum (dukungan yang
diberikan untuk pengawasan lingkungan di Indonesia belum tegas dan
implementasinya pun belum sistemik).
Terlepas dari dimensi yang sudah
diungkapkan tadi masih ada sisi yang yang sebenarnya punya potensi efektif
untuk menanggulangi permasalahan lingkungan di Indonesia, yaitu dimensi
politik. Politik memiliki kuasa yang ampuh karena disanalah kebijakan
industrialisasi dicetuskan termasuk perencanaan dan pengembangannya. Namun
sangat disayangkan minimnya partisipasi politik masyarakat yang berkaitan
dengan pembuatan keputusan kebijakan lingkungan, ditambah lagi dengan adanya
tabrakan kepentingan antara pengusaha yang notabene memberikan back up bagi politisi, kelompok birokrat
yang beradu kepentingan serta aparat keamanan yang ikut menikmati hasil dari
memberikan jaminan keberlangsungan bisnis industri di Indonesia. Hal ini tentu
saja sering menjadi batu penghalang bagi kelancaran penciptaan lingkungan hidup
yang layak huni serta keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat
melimpah dengan bijaksana dan "hijau".
Ada sebuah cerita mengenai politik
lingkungan di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, tepatnya di dukuh Tapak
yang berada di kecamatan Tugu kota Semarang. Sebagai salah satu kota di Jawa Tengah
yang lebih dulu mengalami interaksi dengan bisnis dan modernisasi sejak tahun
1970-an telah berdiri pabrik pemrosesan bahan kimia, makanan kemasan, sabun,
bahan tekstil dan industri kertas di kota ini. Tahun 1991 pabrik dari
perusahaan PT Semarang Diamond Chemicals telah berdiri selama 14 tahun di dukuh
Tapak. Pabrik ini didirikan oleh seorang pengusaha ternama Jawa Tengah yang
bernama Budiarso (Bhe Hok Djwan) untuk memproses kalsium sitrat, sebuah zat
kimia yang digunakan dalam minuman bersoda seperti Coca Cola dan Fanta,
pembangunan pabrik ini erat hubungannya dengan pendirian pabrik Coca Cola di
kota yang sama beberapa saat sebelumnya. Namun situasi bisnis ini tidak terlalu
menguntungkan bagi warga sekitar yang rata-rata berprofesi sebagai petani yang
memanfaatkan sawah dengan irigasi dekat pabrik juga beberapa nelayan yang
melaut di perairan sekitar perusahaan. Ratusan hektar sawah yang sumber
pengairannya berasal dari sungai Tapak tidak menghasilkan hasil yang maksimal
dan cenderung tidak lagi subur untuk ditanami padi. Aparat setempat yang masih
berpegang pada aturan lingkungan warisan kolonial Belanda ketika itu tidak
cukup berdaya untuk memberi ultimatum pada perusahaan. Pihak perusahaan pun
dengan dalih bahwa masalah lingkungan harusnya diselesaikan oleh pemerintah
menyangkal ketika diminta pertanggungjawaban oleh warga sekitar yang dirugikan.
George Aditjondro sebagai salah satu
ahli problem lingkungan mengemukakan mengenai penelitiannya tentang polusi
dukuh Tapak bahwa kerugian materiil warga yang terdampak "tidak
terhitung" banyaknya. Para warga yang mengandalkan hidupnya dari irigasi
dan perairan sekitar pabrik dipaksa secara halus untuk mencari penghidupan lain
atau memilih untuk bersedia ditransmigrasi atau pindah ke daerah lain yang
masih berpotensi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Warga bersikeras bahwa
secara kultural dan historis mereka sudah terbiasa hidup dari generasi ke
generasi di tempat itu untuk menjadi petani, bercocok tanam ataupun sebagian
mencari ikan di laut. Sudah tentu warga menolak opsi untuk direlokasi ke
wilayah lain.
Berbagai advokasi dan usaha warga
yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil dilakukan selama bertahun-tahun.
Setelah menghadapi oposan dari kelompok masyarakat, NGO dan pemerintahan lokal
akhirnya PT SDC melunak dan bersedia memberi settlement atas eksploitasi bisnis
mereka selama ini. Sepuluh tahun sejak masalah pencemaran ini dilaporkan oleh
warga sekitar pabrik tepatnya pada bulan September 1991 PT SDC dan warga
mencapai kesepakatan dalam pemberian ganti rugi atas degradasi kehidupan yang
menyudutkan masyarakat sekitar. Sebanyak Rp 225 miliar diserahkan kepada warga
sebagai kompensasi ganti rugi pada 247 warga terdampak. Namun sebelum ini jalan
yang ditempuh oleh warga tidaklah mudah. Mereka mengalami intimidasi dari
aparat keamanan bayaran pabrik, organisasi aktivis pemuda sempat dituduh
simpatisan komunis, dan ada pula warga yang disuap Rp 2,5 miliar untuk
menyetujui keberlangsungan bisnis perusahaan.
Hasil dari kesepakatan warga dan
pabrik menghasilkan beberapa keputusan yang harus ditaati dan dijalankan,
diantaranya :
1. Mayoritas warga
menolak untuk direlokasi, dalam hal ini mereka mendapat perlindungan dari
kepala desa serta pemerintahan desa setempat
2. Pabrik harus
memasang instalasi pembuangan limbah industri yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan ketika itu.
3. Beberapa NGO
yang terlibat dalam pembelaan kepentingan warga mengancam akan memboikot produk
yang dihasilkan pabrik pencemar sungai bila perusahaan tidak segera
menyelesaikan masalah ganti rugi, meskipun pada akhirnya kebijakan boikot ini
tidak dilaksanakan karena pabrik bersedia membayar kompensasi ketika itu namun
ide ini menjadi inspirasi bagi gerakan serupa pada masalah kelingkungan.
Pada kasus Tapak ini kita dapat
melihat mengenai jalannya politik lingkungan yang ada di Indonesia. Lemahnya
penegakan hukum mengenai kelayakan lingkungan dan tidak adanya koordinasi yang
baik antara tatanan level pemerintahan dalam melakukan pengawasan lingkungan
memberi celah bagi bisnis yang mengeruk keuntungan dengan meminimalkan
perhatian pada keberlangsungan ekosistem dan keseimbangan ekonomi. Lebih dari
itu kasus ini menunjukkan betapa tidak berdayanya warga yang selama sepuluh
tahun yang terapar akibat efekpolusi terus memperjuangkan haknya, dan mereka
pun harus dibantu oleh relawan organisasi masyarakat sipil dalam memperoleh
keadilan.
Kasus ini sebenarnya melihat bahwa
ada beberapa kendala utama dalam mengatasi kerusakan lingkungan. `Pertama,
kurangnya ketegasan hukum terhadap oknum-oknum atau pun lembaga perusak
lingkungan, masyarakat belum terlibat aktif dalam memperjuangkan pelestarian
lingkungan, dan kurangnya pendidikan lingkungan. Maka, melalui jalur politik
lingkungan pemerintah harus melihat dan menegakkan kembali peraturan dan
kebijakan pelestarian lingkungan, memfasilitasi masyarakat sipil, dan
mengefektifkan pendidikan dan sosialisasi lingkungan.
a). Penegakkan Peraturan Lingkungan
Hidup
Perhatian
pemerintah dalam pelestarian lingkungan muncul dengan menhasilkan undang-undang
No. 4 tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengolahan hidup. Dalam undang-undang ini,
dipaparkan mengenai bagaimana lingkungan dan sumber daya diolah agar
kelestariannya tetap terjaga. Selain itu, larangan terhadap eksploitasi yang
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan menjadi perhatian utama dalam
undang-undang ini.
Sejalan
dengan terjadinya pergantian pemerintahan di Indonesia, pada tahun 2004 yang
lalu telah diadakan pemilihan umum untuk pertama kalinya memilih langsung
Presiden RI, dan terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
sebagai presiden dan wakil presiden. Dalam pemerintahannya, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009. Dalam
ketentuan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 pada poin 8 tentang Pemenuhan Hak Atas
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam,
dinyatakan bahwa peningkatan akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan
hidup dan sumber daya alam dilakukan
melalui berbagai program (Tijow Lusiana, 2016).
Program-program
tersebut antara lain (Supriadi, 2008:
174-175):
1.
Program Pemanfaatan Sumber Daya Hutan. Di dalam program sumber daya hutan ini
tercakup 2 (dua) hal: (a) Pengembangan sistem pemanfaatan sumber daya alam yang
berpihak pada masyarakat dan memperhatikan pelestarian hutan; (b) Pengembangan
hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat.
2.
Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam. Di dalam program ini
tercakup 8 (delapan) hal, yakni: (a) Restrukturisasi peraturan tentang
pemberian Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam; (b) Penguatan organisasi masyarakat
adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; (c)
Pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal; (d) Pengembangan sistem
insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga lingkungan; (e) Pengembangan kerja
sama kemitraan dengan lembaga masyarakat setempat dan dunia usaha dalam
pelestarian dan perlindungan sumber daya alam; (f) Kerja sama dan tukar
pengalaman dengan negara lain dalam meningkatkan kemampuan konservasi sumber daya
alam; (g) Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau,
terumbu karang, dan lainlain) berbasis masyarakat; (h) Meningkatkan dan
mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah perdagangan
hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.
3.
Program pengembangan Kapasitas Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Di dalam
program ini terdapat 5 (lima) hal yang menjadi sorotan, yaitu:
(a) Pengembangan
sistem pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat; (b) Pengembangan sistem
pengelolaan sumber daya alam yang memberikan hak kepada masyarakat secara
langsung; (c) Berorientasi kerja sama dengan perusahaan multinasional yang
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup agar lebih berpihak pada
masyarakat miskin; (d) Kerja sama dan tukar pengalaman dengan negara lain dalam
meningkatkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan; (e) Meningkatkan
dan mengefektifkan kerja sama antarnegara dalam mengatasi dan mencegah
perdagangan hasil alam yang dilakukan secara ilegal dan merusak alam.
4.
Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. Di dalam program ini
mencakup: Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam
upaya pemisahan sampah;
5. Penegakan hukum bagi pihak yang merusak
sumber daya alam dan lingkungan hidup; Kerja sama dan tukar pengalaman dengan
negara lain dan lembaga internasional dalam mengatasi dan mencegah pencemaran
lingkungan hidup dan mengembangkan kode etik global bagi perusahaan
multinasional.
Saat
ini kebijakan lingkungan hidup Indonesia untuk jangka panjang mengacu pada
Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJP) dalam 20 tahun ke depan dalam berbagai aspek/sektor pembangunan
sebagai upaya menyebarkan dan mencapai tujuan nasional sebagaimana tersebut
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun misi jangka panjang Indonesia
yang berkaitan dengan lingkungan hidup ada pada Visi dan Misi Pembangunan
Nasional 2005-2025, pada butir ke 6, yaitu: “Mewujudkan Indonesia asri dan
lestari”. Dalam rangka mewujudkan
Indonesia yang asri dan
lestari sasaran dan
arah pembangunan Lingkungan
Hidup yang digariskan dalam RPJP
2005-2025 sesuai Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang RPJP telah ditetapkan
oleh pemerintah. Sasaran RPJP 2005-2025 tentang lingkungan hidup menurut
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, sebagai berikut (Presiden RI, 2007): “Sasaran
RPJP 2005-2025 khususnya Lingkungan Hidup:
1.
Membaiknya pengelolaan dan
penggunaan SDA dan
pelestarian fungsi LH yang dicerminkan oleh tetap
terjaganya fungsi daya dukung dan
kemampuan pemulihannya dalam mendukung
kualitas kehidupan sosial
dan ekonomi secara serasi,
seimbang dan lestari.
2.
Terpeliharanya kekayaan keragaman
jenis dan kekhasan
SDA untuk mewujudkan nilai
tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan.
3.
Meningkatnya kesadaran, sikap
mental dan perilaku
masyarakat dalam pengelolaan SDA
dan pelestarian fungsi LH untuk menjaga
kenyamanan dan kualitas kehidupan.” Arah kebijakan RPJP 2005-2025 tentang
lingkungan hidup menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 yaitu (Presiden RI,
2007): “Arah RPJP 2005-2025 khususnya Lingkungan Hidup
1. Mendayagunakan SDA yang terbarukan.
SDA terbarukan dimanfaatkan
secara rasional, optimal,
efisien dan bertanggung jawab dengan menggunakan seluruh
fungsi dan manfaat secara seimbang.
2. Mengelola SDA yang tidak terbarukan.
Pengelolaan SDA tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber
energi diarahkan untuk
tidak dikonsumsi secara
langsung, melainkan
diperlakukan sebagai masukan,
baik bahan baku
maupun bahan bakar, untuk proses produksi yang dapat
menghasilkan nilai tambah optimal di
dalam negeri.
3.
Menjaga keamanan ketersediaan energi. Menjaga keamanan ketersediaan energi
diarahkan untuk menyediakan energi dalam
waktu yang terukur
antara tingkat ketersediaan
sumber-sumber energi dan tingkat kebutuhan masyarakat.
4. Menjaga dan melestarikan sumber daya air.
Pengelolaan diarahkan menjamin
keberlanjutan daya dukungnya
dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan
air tanah.
5.
Mengembangkan sumber daya kelautan. Pembangunan
ke depan perlu
memperhatikan pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas.
Pemanfaatan sumber daya tersebut melalui
pendekatan multisektor, integratif
dan komprehensif untuk meminimalkan konflik dan tetap menjaga
kelestariannya.
6.
Meningkatkan nilai tambah atas
pemanfaatan SDA tropis yang unik
dan khas. Deversifikasi
produk dan inovasi
pengolahan hasil SDA
terus dikembangkan agar mampu
menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah tinggi.
7.
Memperhatikan dan mengelola
keragaman jenis SDA yang
ada di setiap wilayah. Pengelolaan SDA
untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal,
mengembangkan wilayah strategis.
dan cepat
tumbuh serta memperkuat daerah dalam mendukung pembangunan
yang berkelanjutan.
8.
Mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia.
Mengembangkan kemampuan sistem
deteksi dini, sosialisasi
dan desiminasi informasi terhadap
ancaman kerawanan bencana alam kepada masyarakat.
9.
Mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi
diarahkan pada pemanfaatan
jasa lingkungan yang ramah
lingkungan. Pemulihan kondisi
lingkungan untuk meningkatkan
daya dukung lingkungan.
10.
Meningkatkan kapasitas pengelolaan SDA dan LH. Meliputi: peningkatan
kelembagaan, penegakan hukum,
SDM yang berkualitas, penerapan
etika lingkungan, internalisasi
etika lingkungan dalam kegiatan produksi, konsumsi, pendidikan
formal dan kehidupan sehari-hari. 11. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai
lingkungan.
Program-progam
ini seharusnya menjadi fondasi bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk
memberi perhatian penuh terhadap kelestarian dan penggunaan sumber daya secara
bijak.
b).
Mempertegas eksistensi AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan )
Sebagai
bentuk tindakan preventif, pemerintah
harus menegakkan kembali kebijakan tentang AMDAL, Dalam beberapa fenomena
kerusakan lingkungan, seperti aktivitas
pertambangan dan pembangunan, pengambaian terhadap AMDAL menjadi kesalah utama.
Sehingga, tidak jarang AMDAL diperbincangkan setelah persoalan kerusakan muncul. Padahal AMDAL seharusnya
didiskusikan sebelum pengelolaan sumber daya alam dilakukan.
AMDAL (Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan) dalam Peraturan Pemerintah NO 27 TAHUN 1999
memiliki pengertian yaitu kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan di Indonesia.
AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu
proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di
sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek abiotik, biotik
dan kultural.
Dasar hukum AMDAL di
Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang “Izin
Lingkungan Hidup” yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Secara umum
AMDAL mempunyai tujuan yaitu untuk menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan
hidup serta menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah
mungkin. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah, membantu proses
pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan
atau kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana
usaha dan atau kegiatan, memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelola dan
pemantauan lingkungan hidup, memberi informasi bagi masyarakat atas dampak
ditimbulkan dari suatu rencana usaha dann atau kegiatan, awal dari rekomendasi
tentang izin usaha, sebagai Scientific
Document dan Legal Document, izin Kelayakan Lingkungan, menunjukkan tempat
pembangunan yang layak pada suatu wilayah beserta pengaruhnya, sebagai masukan
dengan pertimbangan yang lebih luas bagi perencanaan dan pengambilan keputusan
sejak awal dan arahan atau pedoman bagi pelaksanaan rencana kegiatan
pembangunan termasuk rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan
(Arikelsiana, 2015).
Ketika AMDAL efektif
diterapkan dalam tahap pengeloaan sumber daya alam, maka kemungkinan-kemungkinan
terjadi kerusakan lingkungan sangat berkurang. AMDAL menjadi kebijakan utama
pemerintah sebelum aktivitas pengelolaan sumber daya alam dilakukan, sehingga
patut mendapat perhatian utama dari pemerintah dan menjadi kebijakan politik
aktif dan permanen dalam negara Indonesia.
c). Masyarakat Sipil
Pemerintah juga
perlu mefasilitasi mengefektifkan peran masyarakat sipil dalam mengatasi
persoalan lingkungan di Indonesia. Sebagaimana pemerintah belum mampu mengatasi
semua persoalan kerusakan lingkungan hidup, masyarakat sipil perlu dilibatkan
secara total. Hal itu bertujuan untuk mempercepat menjawab persoalan lingkungan
ynag terjadi di Indonesia.
Dalam kajian
akademis kontemporer, pengertian "masyarakat sipil" biasanya
didefinisikan pada preferensi sebuah level yang menjembatani antara negara yang
memiliki kekuasaan untuk memerintah dan yang rakyat yang diperintah (Cohen dan
Arato: 1992). Pengertian ini juga memiliki kriteria yang memberi kerangka
spesifik atas makna tadi, diantaranya bukan merupakan organisasi pemerintahan,
terlibat dalam aktivitas pelayanan dan advokasi publik, dapat berupa yayasan,
ataupun yang didirikan oleh perorangan, asosiasi profesional, menyuarakan
pergerakan sosial, serta memiliki jaringan aktivis. Salah satu faktor kunci
yang membedakan masyarakat sipil dengan organisasi serupa lainnya adalah tujuan
organisasi yang nirlaba, dan dalam mencapai tujuan kelompok mereka menempuh
jalan yang tanpa kekerasan. Pada perkembangannya dampak pengaruh globalisasi
yang mempermudah komunikasi antar manusia, tersebarluasnya sistem nilai dalam
masyarakat, munculnya kelompok informal yang berbasiskan asosiasi dan jaringan
pertemanan, menjamurnya komunitas yang berdasarkan satu kepentingan, etnis,
kepercayaan ataupun budaya memainkan peran penting dalam memasyarakatkan
organisasi masyarakat sipil.
Organisasi masyarakat sipil dapat beroperasi secara
efektif dengan sebuah paradigma yang dikenal dengan "soft power", yaitu melalui langkah-langkah persuasif dan
negosiasi yang ditujukan secara langsung pada input sistem pembuatan kebijakan
yang kemungkinan akan melahirkan peraturan sosial yang menguntungkan dalam arti
pelayanan masyarakat secara efisien dalam sektor yang belum terpenuhi secara
memuaskan oleh pemerintah. Meskipun cara ini tidak terkesan konfrontasional,
namun "soft power" yang
dilakukan masyarakat sipil pada situasi tertentu justru lebih dapat menunjang
keberlangsungan hasil positif yang diperoleh kelompok yang diperjuangkan
(kelompok yang mengalami ketidakadilan sehingga didampingi oleh organisasi
masyarakat sipil). Mayoritas dari organisasi semacam ini yang lahir pada
1990-an menjalankan kepentingannya dengan cara yang kooperatif dengan otoritas
negara yang ada. Pada kasus seperti di Afrika, Asia ataupun Amerika Selatan
dimana pemerintahan yang berlangsung tidak cukup demokratis untuk mengakomodasi
kelompok seperti masyarakat sipil maka organisasi ini melakukan pendekatan "soft power" dan berkasi
dengan "sembunyi" sehingga dapat terjaga keberadaannya dan tetap
mengusung perjuangan misi sosial.
Jumlah dari organisasi masyarakat sipil mungkin akan
terus bertambah di negara-negara dengan budaya politik yang akan menuju status
demokratis ataupun sudah mencapai tahap demokratis. Dengan kapabilitas untuk
bergerak secara vertikal maupun horizontal dalam tatanan sosial masyarakat,
bukan tidak mungkin akan semakin banyak perubahan sosial yang akan terjadi.
Banyak contoh dimana masyarakat sipil berafiliasi dengan organisasi peduli
kemanusiaan, peduli lingkungan ataupun aktivis ketimpangan sosial telah
berhasil melakukan persuasi yang mengena pada dampak yang dihasilkan. Dengan
berfokus pada meningkatkan taraf kehidupan manusia dan mentargetkan pada
kalangan bawah yang dianggap berpotensi besar, masyarakat sipil telah berada di
garis depan dalam mengisi kekurangan optimalisasi yang seharusnya dipenuhi oleh
pemerintah dalam banyak hal seperti penegakan Hak asasi manusia, pendidikan,
kepedulian lingkungan, dll.
Organisasi
masyarakat sipil dalam mengaplikasikan prinsip dasarnya dapat menyokong
aktivitas pembangunan masyarakat. Kebutuhan masyarakat luas dapat terakomodir
oleh kehadiran masyarakat sipil yang terus memberi dukungan baik berupa
sosialisasi, edukasi, maupun advokasi kepentingan bersama. Kita ambil contoh
OMS Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang menempatkan diri sebagai kelompok yang
menyuarakan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Walhi sering
menjadikan diri sebagai tameng advokasi warga masyarakat yang terkena dampak
kerusakan lingkungan akibat industri, ketidakseimbangan ekosistem karena ulah
manusia, atau bahkan melakukan pendampingan dalam berhadapan dengan korporasi
besar yang menyumbang polusi ataupun mengeksploitasi secara berlebihan
sumberdaya alam yang ada. Sebagai contoh WALHI melakukan aksi menolak
pembangunan pabrik semen oleh sebuah perusahaan ternama di Rembang, Jawa Tengah
tepatnya di dusun Kendeng. Ketika izin pembangunan pabrik dikeluarkan oleh
otoritas provinsi pada tahun 2012 WALHI mulai aktif melakukan langkah yang
mengantisipasi akan terjadinya eksploitasi dan ketidakadilan yang dialami warga
Kendeng. Tempo
Penambangan semen yang dilakukan sendiri mengancam
keberadaan cekungan air tanah (CAT) Watu Putih yang termasuk kawasan lindung
geologis alam. Di tempat yang sedianya akan ditambang tersebut terdapat 109
mata air yang tersebar dan menjadi sumber kehidupan warga sekitar. Jika
eksploitasi tambang benar akan dilakukan maka kemungkinan potensi air yang
hilang sekitar 51 juta liter dan mengancam perairan untuk lokasi pertanian
seluas 3020 hektar. kompas
Tentu kita dapat membayangkan kerugian yang mungkin akan
diderita oleh warga Kendeng dan sekitarnya apabila penambangan memperoleh izin
dan terlaksana. Oleh karena peran WALHI disini sebagai organisasi masyarakat
sipil adalah membela kepentingan rakyat yang belum dipenuhi dengan maksimal
oleh pemerintah. Masyarakat sipil sebagai sarana untuk memperbaiki kesenjangan
keadilan yang ada di masyarakat.
Contoh di atas menujukkan peran penting masyarakat sipil
dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup. Hal ini merupakan kebutuhan
masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya. Efektifnya masyarakat sipil
dapat membantu percepatan cara mengatasi kerusakan lingkungan yang terjadi di
Indonesia.
C.
PENUTUP
Kerusakan
lingkungan menjadi salah satu hal yang dapat mengganggu proses keberlangsungan
kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu, pemerintah dan bangsa Indonesia memiliki
tanggung jawab besar untuk mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup.
Salah satu cara untuk mewujudkan hal itu ialah dengan menegakkan kembali
politik lingkungan. Melalui politik lingkungan, pemerintah mampu memproduksi
kebijakan pro kelestarian lingkungan, pun bisa mempertegas kebijakan-kebijakan
yang sudah ada.
Hal utama yang
bisa dilakukan oleh pemerintah ialah dengan mempertegas peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup, serta kebijakan-kebijakan dalam
program-program pemimpin negara. selain itu, pemerintah menegakkan kembali
AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang bertujuan untuk mencegah terjadi
berbagai kemungkinan kerusakan lingkungan jika melakukan pembangunan. selain
dari pemerintah, masyarakat juga bisa terlibat dalam mencegah dan mengatasi
kerusakan lingkungan hidup. Hal itu harus mendapat dukungan dari pemerintah
dengan mefasilitasi dan menjaga efektifitas masyarakat itu sendiri. Sekiranya
ketiga hal ini cukup untuk mengatasi berbagai kerusakan lingkungan hidup di Indonesia
jika didukung secara penuh oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Meriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Diamond, Larry. (2003), Developing Democracy:
Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press.
Hardjasoemantri, 2006, Hukum Tata
Lingkungan. Edisi Kedelapan. Cetakan Kesembilan Belas. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Hidayat, Herman 2005,
Politik Lingkungan Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Jakarta
: Yayasan Obor Indonesia.
James, Helen. (2007), Introduction: Civil Society, Religion and
Global Governance - The Power and Persuasiveness of Civil Society. Dalam H.
James, Civil Society, Religion and Global Governance (hal. 2-3). New
York: Routledge.
Januarti, Nur. E. (2007), Integrasi Organisasi Masyarakat Sipil di
Lingkungan Sekolah. Socia Integrasi , 2-5.
Jemadu Aleksius, 2008,
Politik Global Dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Lucas, Anton. (1998), River Pollution and Political Action in Indonesia. Dalam P. Hirsch,
& C. Warren, The Politics of Environment in Southeast Asia (hal.
181-195). London: Routledge.
Nurdin,
Nazar,(2014, November 6). Kompas. Dipetik February 26, 2017, dari
Kompas.com:
https://www.kompas.com/read/2014/11/06/16151811/Walhi.pabrik.semen.ancam.607.198.warga.di.rembang.
Peraturan Presiden No. 7 Tahun
2005. Bab 32 tentang Perbaikan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian
Fungsi Lingkungan Hidup.
Santosa, M. A, 2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan,
ICEL. Jakarta: YLBHI.
Soemarwoto, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Jakarta:
Djambatan.Universitas Indonesia Press.
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah
Pengantar, Jakarta: Sinar Grafika.
Dari Internet:
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-amdal-fungsi-tujuan-manfaat-amdal.html
https://www.lingkunganhidup.co/sampah-plastik-indonesia-dunia/
http://regional.kompas.com/read/2012/09/28/17313375/70.Persen.Kerusakan.Lingkungan.akibat.Operasi.Tambang
Komentar
Posting Komentar