AWAL KULIAH DI UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sesuatu yang ada dan tampak selalu butuh proses. Melintasi lembaran waktu, menjelajahi tiap jengkal kemampuan, dengan proses yang terus berjalan (penjaga kandang, 2). Pernyataan ini merujuk pada kenyataan hidup yang berada pada alur waktu tertentu. Demi kepentingan ini setiap orang dituntut untuk menikmati setiap alur kehidupan. Untuk itulah, saya menyadari bahwa keberadaan saya di Universitas Gadjah Mada merupakan bagian dari takdir dan alur kehidupan. Semuanya butuh proses.
Sebagai suatu proses, kehidupan di UGM merupakan bagian yang sangat penting untuk direfleksikan. Ada beberapa hal penting yang menjadi fokus dari tulisan ini, antara lain awal kehidupan di UGM merupakan kejutan di awal kuliah. Di samping itu, kehidupan awal di UGM selalu dihantui asumsi bahwa perjalanan kuliah di UGM bergaul dengan primordialisme yang kemudian tumbuh subur menjadi etnosentrisme yang seringkali memicu konflik (Ahdiyati, 2015). Ketakutan yang lain ketika mengawali kehidupan UGM ialah adanya tindakan senioritas, yang kemudian berkembang menjadi penjajahan dalam sekala kecil dan dalam ruang lingkup kampus.
Awal kehidupan di UGM dipenuhi dengan kejutan. Kejutan itu bukan tampak dari hadiah tertentu seperti dalam acara ulang tahun, anniversary, ataupun ketika meraih prestasi tertentu. Kejutan yang dimaksudkan ialah bagaimana setiap awal kegiatan selalu dibingkai dalam cara-cara yang kreatif, entah oleh mahasiswa angkatan sebelum ataupun dari dosen tertentu, yang berujung pada rasa kaget bagi mahasiswa. Kejutan itu tampak dalam adanya kebebasan bagi mahasiswa untuk berpendapat dengan gayanya masing-masing , dibandingkan pengalaman tertekan yang dialami waktu di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kejutan lain tampak dari beberapa acara penerimaan mahasiswa baru. Sebagai contoh, mahasiswa baru dijadikan sebagai raja dalam kegiatan-kegiatan tertentu dan selalu dilayani oleh angkatan sebelumnya. Ini hal yang mengejutkan, meskipun sederhana dan luput dari pandangan mahasiswa lain.
Pengalaman lain yang menghiasi kehidupan awal di UGM berkaitan dengan asumsi pribadi, yaitu adanya primordialisme ataupun etnosentrisme. UGM merupakan univeritas negeri dan selalu dikatakan sebagai kampus kerakyatan. Pernyataan dibuktikan dengan adanya Sunday Morning dan tampak dalam penerimaan mahasiswa dari berbagai daerah dengan keberagaman budaya yang ada, entah dalam negeri maupun luar negeri. Tentu siswa yang mampu bersaing dan lolos seleksi, dalam SNMPTN, SBMPTN, dan Seleksi Mandiri. Kenyataan ini melahirkan hal baru yang bisa menjadi kekayaan Universitas, tetapi juga menjadi ketakutan sendiri bagi keberlangsungan perkuliahan di UGM. Bagaimanapun keragaman budaya di UGM menjadi kekhasan tersendiri bagi universitas. Sebagai contoh, dalam satu jurusan saja terdapat mahasiswa utusan daerah, dari Sabang sampai Merauke. namun, hal itu juga bisa saja menjadi momok menakutkan ketika berhadapan dengan persoalan persaingan budaya, antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Hal itu tampak ketika mahasiswa baru UGM mengedepankan sikap radikalisme budaya, tidak mau menerima kebudayaan-kebudayaan lain yang berasal dari luar daerahnya.
Akan tetapi, hal itu hanyalah asumsi semata. Kenyataan yang terjadi bertolak belakang dengan asumsi negatif yang dibuat. Ada beberapa cara kreatif yang dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa antara lain melakukan seminar mengenai pentingnya menghargai semua budaya yang ada di Indonesia, melakukan Malam Keakraban tanpa membeda-bedakan budaya tertentu, dalam kegiatan perkuliahan pun para pengampu mata kuliah menekankan sikap menghargai kebudayaan lain untuk memperlancar kegiatan perkuliahan.
Hal terakhir yang menjadi kecemasan bagi mahasiswa baru umumnya ialah senioritas. Pengalaman senioritas sudah menjadi sorotan utama di beberapa SMA. Sebagai contoh, pada tanggal 15 Agustus 2014 DetikNews memberitakan; seorang mahasiswi kelas X SMAN 9 Kota Tangerang Selatan melaporkan kakak kelasnya yang duduk di bangku kelas XII ke Polda Metro Jaya. Pelaporan tersebut dilakukan setelah korban mendapat tindakan bullying di dalam ruangan kelas sekolah tersebut. Kenyataan seperti ini tentu menjadi pola pikir tetap dalam kehidupan mahasiswa baru, apalagi mereka menjalani pendidikan di SMA selama tiga tahun. Namun, sebagaimana asumsi negatif sebelumnya salah, asumsi adanya senioritas di UGM salah adanya. Kesamaan hak menjadi keutamaan dalam menempuh perkuliahan di UGM. Sebagai wujud keseriusan terhadap penolakan senioritas di UGM, pihak kampus mengeluarkan aturan-aturan tegas terkait tindakan senioritas di kampus. Ada sanksi tertentu kepada pelaku senioritas di kampus, bahkan aturan paling tegas ialah akan di keluarkan dari kampus UGM. Hal ini tentu menghilangkan ketakutan para mahasiswa baru untuk memulai perkuliahan di UGM.
Kehidupan awal di UGM selalu dihiasi asumsi-asumsi tertentu, entah karena pengalaman yang terjadi di pendidikan sebelumnya ataupun karena ekspetasi tertentu dari mahasiswa baru. Asumsi-asumsi itu dinyatakan salah ketika para mahasiswa masuk dalam kehidupan nyata perkuliahan di UGM. Dengan caranya sendiri, UGM mempersalahkan asumsi-asumsi tersebut. Sehingga, pada kenyataannya para mahasiswa baru bisa menjalani kuliah dengan bebas dan bertanggung jawab, tanpa mempersoalkan perbedaan budaya dan senioritas.
Daftar Pustaka:
Ahdiyati, R, 2015, Mengintip Ragam Seni dan Budaya Kadipaten, Bulaksumur Pos.
detikNews 15 Agustus 2014, Seorang siswi kelas X SMAN 9 Tangsel Mengadu ke Polisi karena Dibully seniornya, detikNews. Diunggah pada tanggal 01 November 2016
Komentar
Posting Komentar