MENGISTIMEWAKAN TINDAKAN NYATA BERKARAKTER DAN TRANSFORMATIF

 Adolfus Frederik


MENGISTIMEWAKAN TINDAKAN NYATA BERKARAKTER DAN TRANSFORMATIF

Apa itu Ilmu Psikologi?
Jika kita ingin berbicara tentang ilmu psikologi, maka hal yang perlu diutamakan ialah apa yang menjadi persoalan dalam ilmu psikologi. Psikologi sebenarnya berkaitan kejiwaan manusia. Sebagaimana yang kita ketahui, manusia merupakan makhluk yang memiliki jiwa. Jiwa manusia dapat dilihat aktivitasnya dari perilaku yang menjadi refleksi atas kondisi kejiwaannya. Setiap hari kita mengalami banyak hal. Tertawa melihat sesuatu yang lucu, kita berpikir keras saat menghadapi masalah yang pelik, kita ingin membeli atau meminjam suatu barang ketika merasa memerlukannya, semua ini adalah refleksi dari aktivitas kejiwaan kita ( Nugroho M. Rilo, dkk, 2016). Hal ini mengindikasikan suatu peristiwa bagaimana diri kita menanggapi apa yang terjadi di dunia sekitar kita. Dengan begitu, ilmu psikologi dilihat sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia. 
Penjelasan empiris di atas merupakan sedikit tentang persoalan dasar dalam ilmu psikologi, yang membantu penulis meletakkan dasar pijak melihat ontologi, epistimologi, dan aksiologi ilmu psikologi. Kemudian memutuskan untuk menjadi sarjana seperti apa setelah mempelajari tentang ontologi, epistimologi, dan aksiologi ilmu psikologi.  
Maka dari itu, penulis memperjelas alur tulisan dengan membagi sub tema tulisan ini. Pertama, penulis akan menjelaskan ontologi, epistimologi, dan aksiologi ilmu psikologi. Kedua, penulis akan memaparkan keputusan untuk menjadi sarjana sosial seperti apa di hari-hari yang akan datang. Ketiga, penulis mencoba melihat beberapa poin dalam ilmu psikologi yang kurang relevan dengan kenyataan sekarang. 
Mencermati Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
Dalam sub bab ini, penulis mengajak para pembaca untuk mencermati Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi dalam ilmu psikologi. Pembahasan ketiga hal ini menjadi dasar bagaimana nanti penulis memutuskan mau menjadi sarjana seperti apa, apakah fokus pada ontologi, epistimologi, maupun aksiologi.
A. Ontologi ilmu psikologi
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan filsafat yang paling kuno. Awal mula alam pikiran barat sudah menujukkan munculnya perenungan di bidang ontology. Penemuannya adalah filsuf Yunani kuno bernama Thales. Atas perenungan yang terdalam dari Thales sampailah pada pembagian ontologi menjadi tiga macam, antara lain ontologi bersahaja, ontologi kualitatif dan kuantitatif, dan ontologi monistik. Untuk memahami ontologi, ada beberapa hal yang menjadi dasar pijak analisis, antara lain, Yang ada (Being), kenyataan (Reality), Eksistensi (Existence), Perubahan (Change), Tunggal (One), dan Jamak (Many) (Hidayat dan Ratnawati, 2013). Penjelasan ini mengantar kita pada kesimpulan bahwa dengan ontologi kita melihat sesuatu dengan batasan-batasan kebenaran tertentu. Batasan-batasan tersebut sudah terangkai sejak ontologi ditemukan. Dengan batasan tersebut, kita menentukan suatu kebenaran dengan menjawab teori yang sudah terbukti melalui penelitian. Hal ini hanya sebatas penyesuaian apa yang kita tahu dengan teori yang sudah ditetapkan. Tentu merujuk pada pembagian ontologi di atas. 
Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ontologi ilmu psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang hal itu adalah sesuatu yang empiris. Perilaku merupakan gejala yang muncul di permukaan dan bersifat empiris. Maka dari itu, hakekatnya psikologi adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala kerohanian manusia yang tampak melalui perilaku manusia. Dalam ilmu psikologi, manusia dibedakan dari segi personalnya. Jadi manusia dibedakan dengan menggunakan ilmu ini, apa yang membedakannya dengan manusia lainnya (Fathurrohman Muhamad, 2012). Kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu psikologi berkaitan dengan kejiwaan manusia dengan perilaku yang tampak sebagai perantara analisisnya. 
Karena manusia adalah makhluk yang multidimensional, maka obyek psikologi ini secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut sebenarnya merupakan pembagian dari aktivitas potensi manusia atau perilaku manusia, yang meliputi, intelegensi dan bakat dalam ranah kognitif, sikap dan prasangka dan lain sebagainya dalam ranah afektif, dan ketrampilan atau keahlian manusia dalam ranah psikomotorik (Fathurrohman Muhamad, 2012). Pembagian ini membantu kita dalam melihat pengelompokkan psikologi berdasarkan penemuan terdahulu. Hal inilah yang penulis sebut sebagai batasan tertentu dalam ontologi. Kita hanya bergerak sekitar pengelompokkan ini. 
B. Epistimologi Ilmu Psikologi
Epistimologi selalu bergaul dengan perbandingan antara teori yang satu dengan teori yang lain, ataupun antara teori dengan kenyataan. Maka, syarat untuk menjadi sebuah ilmu harus mempunyai epistemologi yang jelas. Salah satu cabang epistemologi adalah metodologi. Ilmu psikologi juga mempunyai metodologi yang jelas untuk menggali ilmu tersebut. Cara untuk memperoleh ilmu psikologi dapat dilakukan dengan menggunakan metode tertentu. Metode yang paling mudah dipakai untuk memperoleh ilmu psikologi adalah pengamatan langsung atau observasi. Hal itu dikarenakan obyeknya adalah sesuatu yang empiris. Karena sesuatu yang empiris maka sesuatu tersebut dapat diamati. Baik pengamatan langsung perilaku yang dilakukan manusia secara mendalam, maupun mengamati gejala-gejala yang terjadi di sekitar manusia yang sedang diamati tersebut, sebagai respon dari perilaku yang ia lakukan (Fathurrohman Muhamad, 2012). Maka, hal ini dapat dilakukan dimana saja. Intinya, epistimologi menjadi wadah untuk membandingkan teori yang sudah ada dengan kenyataan yang terjadi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan metode observasi. 
Metode observasi merupakan metode ilmiah yang paling mudah diterapkan. Karena psikologi berdiri sebagai ilmu pengetahuan yang tersendiri, maka untuk memperolehnya harus menggunakan metode ilmiah juga. Adapun metode pengamatan langsung atau observasi adalah salah satu bagian dari metode non-eksperimental. Pengamatan dapat dilakukan secara terselubung maupun terencana dan dapat dilakukan di sekitar lingkungan tempat tinggal atau pada kawasan tertentu. Pada intinya yang diamati sesuai dengan obyek yang diinginkan (Fathurrohman Muhamad, 2012).  
Metode yang dipakai selain pengamatan secara langsung adalah dengan melalui eksperimental, baik dilakukan di dalam laboratorium maupun di luar laboratorium (Fathurrohman Muhamad, 2012).  Metode ekseperimen dilakukan dengan cara memperlakukan seseorang yang bersedia menjadi sampel dengan perlakuan khusus, kemudian diambil datanya sebagai hasil penelitian.
C. Aksiologi dalam Ilmu Psikologi
Dalam ranah aksiologinya, ilmu psikologi terikat nilai. Hal itu dikarenakan dalam penerapannya manusia selalu memandang baik dan buruk. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa aksiologi ilmu ini masih terikat nilai. Setiap ilmu pastilah bermanfaat bagi manusia. Karena pada hakikatnya fungsi ilmu adalah bernilai guna bagi manusia. Tanpa adanya manfaat bagi manusia, maka ilmu tersebut eksistensinya perlu dipertanyakan lagi. Demikian juga ilmu psikologi yang merupakan ilmu membahas perilaku dan potensi manusia. Ilmu psikologi ini mempunyai beberapa manfaat atau nilai guna manusia (Fathurrohman Muhamad, 2012) , antara lain: 
1. Bernilai guna untuk mengetahui kejiwaan seseorang baik yang jiwanya sehat atau yang dalam keadaan terganggu atau sakit.
2. Bernilai guna untuk mengenal perilaku setiap orang yang terdapat di masyarakat.
3. Bernilai guna untuk mengetahui tingkat kecerdasan atau intelegensi manusia yang jelas mempunyai perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
4. Berguna untuk mengetahui bakat yang dimiliki oleh setiap orang.
5. Bernilai guna untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan manusia mulai masa pre-natal hingga adolense.
Maka, jelas bahwa aksiologi ilmu psikologi merujuk pada usaha untuk mewujudkan nilai guna yang sudah dirumuskan pada ontologi dan dipertanyakan kembali dalam epistimologi. 
Keputusan Penting
Setelah melihat ontologi, epistimologi, dan aksiologi ilmu psikologi, penulis mencoba menerka harapan untuk menjadi sarana seperti apa di hari-hari yang akan datang. Hal ini membantu penulis untuk menjadi seorang sarjana sosial berkualitas dengan berpedoman pada ontologi, epistimologi, dan aksiologi psikologi, bukan hanya unggul dalam teori melainkan keseimbangan antara teori dan praktik. 
Pada saat ini, penulis ingin menegaskan menjadi sarjana sosial yang memprioritaskan keseimbangan ontologi, epistimologi, dan aksiologi dari ilmu psikologi, yaitu mengutamakan tindakan nyata yang berkarakter dan transformatif atau lebih dekat dengan pendekatan aksiologi dalam kehidupan nyata, dengan menjadikan ontologi dan aksiologi sebagai pembanding. Hal ini diyakini karena penulis melihat bahwa tujuan utama dari sebuah ilmu ialah untuk menjadi sarjana transformatif. Sarjana bukan hanya mengandalkan kualitas penguasaan terhadap teori di atas kertas, melainkan menjadi tokoh yang menggerakkan masyarakat untuk mempraktikkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu tersebut, dalam konteks ini ilmu psikologi. 
Bagaimana pun, ontologi dilihat sebagai ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia melihat ilmu dan konsep-konsep dasar dari ilmu. Kemudian, hal itu mendorong ilmuwan sosial untuk mencari cara agar ilmu tersebut bisa diperoleh, yang dilakukan dengan pendekatan epistimologi. Hasil dari konsep dan penemuan cara ini direalisasikan dengan pendekatan aksiologi karena aksiologi melihat apa yang menjadi tujuan ilmu-ilmu tersebut. Dalam aksiologi mengandung nilai yang kemudian menjadi pedoman ilmuwan untuk merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. 
Oleh karena itu, penulis ingin mengutamakan pembinaan diri dan bakat yang sudah ada untuk dikembangkan dalam kehidupan sosial. Dengan menjadikan ontologi, epistimologi, dan aksiologi, penulis bisa membina karakter diri dengan menjadikan nilai-nilai kehidupan sebagai dasar bertindak, yang berani terjun ke tengah-tengah kenyataan kehidupan bersama dengan orang lain. Dengan begitu, kesehatan mental bisa terjaga dalam kehidupan bersama, pola perilaku bisa terbina berdasarkan pengalaman hidup bersama warga sekitar saya, dan tingkat kecerdasan saya bisa ditambahkan oleh pengalaman pendidikan masyarakat lain. Pola kehidupan saya juga yang menjaga keseimbangan teori dan aksi nilai diharapkan bisa mempengaruhi masyarakat sekitar saya untuk turut meraba kehidupan nyata dengan  tindakan-tindakan nyata dalam melakukan relasi, bukan hanya terbatas pada bagaimana saya berkoar-koar membicarakan teori membina karakter pribadi khususnya dan karakter manusia umumnya. 
Dalam kehidupan berpolitik dan bernegara, tindakan nyata pun sangat dibutuhkan. Saya ingin mengawinkan keinginan saya untuk menjadi ilmuwan sosial yang berpedoman pada pembinaan karakter dan mengutamakan transformasi perilaku. Sebagai  contoh, ketika saya ingin menjadi pemimpin dalam kehidupan bersama, saya tentu mengutamakan karakter dan mental yang baik dalam memimpin.  Saya harus memperlihatkan karakter dan pola perilaku seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat dalam memimpin. Dengan begitu, keinginan dan harapan bersama bisa tercapai. 
Pemimpin bukan hanya duduk di kursi kekusaan. pemimpin bukan sebatas menjadi perangkai kata untuk menarik perhatian masyarakat. Apalagi pandai berorasi atau berjanji. Pemimpin harus memiliki motivasi dan karakter bebas dan bertanggung jawab dalam memimpin. Pemimpin harus merasakan kehidupan nyata dan tunduk pada keinginan masyarakat. 
Mengawinkan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi
Berdasarkan keputusan diatas, penulis melihat bahwa ontologi, epistimologi, dan aksiologi adalah ketiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan untuk membangun dasar pijak saya untuk menjadi sarjana yang berkualitas. Selain itu, ontologi, epistimologi, dan aksiologi merupakan kesatuan pendekatan yang tepat untuk menghasilkan warga negara transformatif. Dengan kesatuan pendekatan ini, perubahan-perubahan kehidupan bisa terjadi secara dinamis, tidak terpaku pada teori-teori tertentu yang mengekang tindakan manusia. Apalagi jika teori hanya hadir untuk membatasi ruang gerak manusia. Untuk itulah, ketiga pendekatan ini tidak boleh dipisahkan agar menjadi fondasi kuat dalam membangun karakter sebagai sarjana transformatif. 
Oleh karena itu, saya menginginkan ilmu sosial psikologi mengutamakan daya perwujudan nilai-nilai kejiwaan dalam kehidupan manusia, yang berkarakter dan transformatif. Dengan begitu, tuntutan utamanya ialah saya harus terlibat dalam kehidupan nyata dan mengubah pola perilaku dari masyarakat, bukan hanya bermain dengan alat tulis dan menuliskannya berdasarkan pengamatan. Semoga, kedepannya saya dan para ilmuwan lain terus melirik aksi dalam mempelajari ilmu untuk menghasilkan ilmuwan transformatif dan ilmuwan yang berani mengubah segala hal yang tidak sesuai dengan nilai ataupun norma kehidupan manusia itu sendiri.



Daftar Pustaka:
Fathurrohman, Muhamad, Kajian Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Ilmu Psikologi, 2012. (diunggah pada tanggal 15 Desember 2016)
Hidayat, Ratnawati, 2013, Filsafat Ilmu dan Logika Sains, Sidoarjo, CV. Citra   Media. 
Nugroho, Rilo, dkk, Ontologi Ilmu Psikologi, 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDEKATAN STRUKTURALISME

PERBEDAAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PARLEMENTER, TERPIMPIN DAN DEMOKRASI PANCASILA

STATE AUXILIARY BODIES: Defenisi dan Penting Penerapannya dalam Negara Demokratis