AYO, BERDIALOG DAN BEREMPATI!: Refleksi Action Researh terhadap Kos Anti-Papua
Nama:
Adolfus Frederik
NIM:
16/399398/SP/27531
AYO,
BERDIALOG DAN BEREMPATI!
Refleksi
Action Researh terhadap Kos
Anti-Papua
Salah
satu persoalan yang sempat mengusik kehidupan mahasiswa Papua dan masyarakat
Yogyakarta umumnya ialah kasus penolakan terhadap mahasiswa Papua. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi, Natalius Pigai mengatakan bahwa sikap
anti Papua di Yogyakarta terjadi lima tahun terakhir. Hal ini tampak dalam
peristiwa di mana mahasiswa Papua yang kesulitan mencari kos untuk berdomisili
sementara (Fachrudin, 2016). Kenyataan ini menjadi perangsang bagi saya untuk
menanyakan mengapa hal itu terjadi. Maka, saya melakukan action research sederhana
dengan judul “Mari menolak kos anti Papua” untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Setelah melakukan action research, penulis mencoba memaparkan hasil research tersebut secara sederhana.
Adapun beberapa poin penting yang menjadi fokus dalam tulisan ini ialah:
pertama, alasan pemilik kos tidak menerima mahasiswa Papua. Kedua, bagaimana
tanggapan mahasiswa Papua, pemilik kos lain dan masyarakat sekitar ketika
menyadari adanya kos anti Papua. Ketiga, apa jalan keluar yang disepakati
bersama antara mahasiswa Papua dengan pemilik kos di Yogyakarta. Keempat,
penulis akan memaparkan beberapa poin yang dipelajari selama melakukan action research.
Mereka Suka Berteriak dan Kasar
Dalam sebuah masalah, tentu satu
dua aspek yang selalu ada dan berdampingan, yaitu sebab atau alasan adanya
masalah tersebut. Dalam action research yang
saya lakukan pun terdapat apa yang menjadi alasan atau sebab adanya penolakan
terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta, dalam bentuk kos anti Papua. Berdasarkan
penelitian yang saya lakukan, alasan utama yang mereka kemukakan ialah
mahasiswa Papua suka berteriak dan keluyuran malam hari. Mereka juga memiliki
pengucapan bahasa yang kasar atau biasa disebut dialeg (Jahal,
diwawancarai 15 November 2016). Hal ini
tidak diterima oleh masyarakat tertentu, sehingga mereka tidak ingin hidup
berdampingan dengan mahasiswa Papua. Hal itu melahirkan pilihan untuk membuat
kos anti Papua.
Akan
tetapi, karakter mahasiswa Papua tersebut ternyata dipengaruhi oleh lingkungan
geografis, yang sulit untuk disesuaikan dengan dialeg masyarakat Yogyakarta
atau Jawa umumnya. Hal itu Disampaikan Chary (2016), bahwa dalam beraktivitas,
masyarakat Papua harus berteriak dengan masyarakat lain untuk berkomunikasi
karena tempat tinggal mereka cukup jauh. Rumah mereka juga terdapat di dua
tempat, yaitu lembah dan gunung, yang tidak memungkinkan mereka untuk berbicara
halus layaknya masyarakat Yogyakarta yang rumahnya sangat dekat, bahkan hanya
dibatasi dinding.
Pandangan
dan Pilihan Keliru
Peneliti
melakukan langkah lanjutan dengan
meminta tanggapan dari mahasiswa Papua dan masyarakat sekitar tentang adanya
kos anti Papua. Langkah ini dilakukan sebagai jaminan apakah pilihan mengadakan
kos anti Papua adalah sesuatu yang baik
dan benar atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara, tanggapan yang muncul selalu
berkaitan dengan pandangan keliru dari beberapa masyarakat Yogyakarta tentang
sikap mahasiswa Papua, sehingga menciptakan pilihan keliru dalam mencari
solusi. “...Mereka (masyarakat Yogyakarta) benar bahwa mahasiswa Papua memiliki
dialeg kasar. Hal itu sangat melekat dengan orang Papua, sehingga butuh waktu
lama untuk diadaptasikan dengan dialeg Jawa. Namun, mereka keliru ketika
menggeneralisasi sikap suka membuat keributan dan keluyuran malam hari. Hal itu menjadi
kegelisahan bagi saya dan mahasiswa Papua lain yang notabene menjalankan
rutinitas kami sesuai dengan aturan yang ada dari pemilik kos” (Kaitana Miska,
diwawancarai tanggal 17 November 2016). Hal ini mengindikasikan bahwa kos anti
Papua tercipta karena adanya stereotipe dari beberapa masyarakat Yogyakarta.
Hal itu terbingkai dalam menggeneralisasikan mahasiswa Papua sebagai mahasiswa
yang suka membuat keributan dan keluyuran malam hari sebagaimana yang
disampaikan oleh Miska.
Tanggapan
masyarakat sekitar berbeda dengan tanggapan mahasiswa Papua. Mereka lebih
menekankan bahwa kos anti Papua hanya dibuat oleh beberapa orang saja, sehingga
mahasiswa Papua tidak perlu cemas karena persentase orang yang menerima mereka
lebih banyak dibandingkan dengan orang yang menolak mereka. Mereka mengharapkan
agar kasus-kasus penolakan terhadap mahasiwa Papua tidak terjadi lagi di
hari-hari yang akan datang (Roto, diwawancarai pada tanggal 20 November 2016). Tanggapan
diharapkan menjadi titik terang mengenai kegelisahan mahasiswa Papua tentang
adanya kos anti Papua di Yogyakarta.
Apa
yang mereka Inginkan?
Hal
utama yang perlu diperhatikan dalam menyelesaikan masalah ini ialah dengan
mempertemukan ketiga pihak, antara lain mahasiswa Papua, pemilik kos, dan
masyarakat sekitar. Hal ini cukup sulit dilakukan karena harus mempertemukan
kepentingan dan keinginan dari masing-masing pihak. Maka, peneliti mencoba melakukan salah satu
cara untuk mempertemukan keinginan mereka tanpa harus menciptakan konflik
tertentu. Peneliti membuat daftar keinginan dari masing-masing pihak yang
kemudian dijadikan sebuah kebijakan jika diizinkan oleh semua pihak. Adapun
kebijakan yang dihasilkan dalam bentuk syarat-syarat untuk menempati kos bagi
mahasiswa:
1.
Mahasiswa
memiliki identitas resmi
2.
Mahasiswa
memiliki surat perilaku baik dari kepolisian
3.
Tidak
boleh ribut di atas pkl. 22.00 WIB
4.
Tidak
boleh mabuk-mabukkan dalam kos
5.
Tidak
boleh membawa obat-obat terlarang
6.
Tidak
boleh membawa lawan jenis dalam kos (tamu diterima di ruang tamu)
7.
Lapor
kepada pemilik kos jika keluar malam hari di atas pkl. 22.00 WIB
8.
Ada
rapat rutin sekali sebulan untuk mengevaluasi kehidupan bersama antara
mahasiswa dengan masyarakat.
Kebijakan ini belum tentu menjamin
dihilangkannya kos anti Papua secara serentak. Oleh karena itu, peneliti
bersepakat dengan pihak terkait untuk melihat perkembangan bagaimana kebijakan
ini mempengaruhi kehidupan bersama ke depannya.
Pelajaran
Penting
Dalam melakukan action research, peneliti mendapatkan banyak tantangan. Salah satu
tantangan tersulit ialah bagaimana melakukan komunikasi dan melebur dengan
kelompok tertentu. Namun, tantangan-tantangan ini membantu saya untuk menyadari
beberapa hal:
a) Peneliti
perlu menjadi orang lain ketika ingin mengalami bagaimana kehidupan kelompok
tertentu. Peneliti benar-benar tahu dan merasakan apa yang mereka rasakan. Hal
itu membantu peneliti mendapatkan laporan eksplisit yang faktual. Saya belajar
tentang cara itu ketika meminta pandangan mahasiswa Papua dan pemilik kos dalam
pelaksanaan action research. Saya
menyadari sesuatu bahwa saya dituntut untuk melakukan kebiasaan mereka jika
ingin bergabung. Saya juga memposisikan diri pada sudut pandang mereka ketika
melihat sebuah kasus, dalam konteks ini kasus kos anti Papua. Tuntutan ini
tentu tidak berhenti pada action research
saja, tetapi perlu diterapkan dalam kehidupan sosial.
Presiden Jokowi telah mempraktikkan langkah tersebut
ketika melakukan pendekatan empati untuk berdialog dengan masyarakat Papua
tentang pelepasan tahanan politik asal Papua. Dialog ini menghasilkan sesuatu yang konkret dan
efektif (Sinombor h. Sonya, 2015).
b) Kualitas
komunikasi menjadi salah satu faktor penting dalam penyelesaian masalah sosial.
Hal ini menjadi penting ketika peneliti memilih cara dialog yang baik dan tepat
dengan beberapa kelompok tertentu dan berbeda. Saya beruntung ketika pernah
mempelajari materi di MOOC. Di sana saya mendapatkan meteri tentang bagaimana
pentingnya peran dialog dalam kehidupan sosial. Saya menyadari betapa
pentingnya dialog dalam mempersoalkan dan memutuskan sesuatu. Melalui dialog,
permasalahan kos anti Papua mendapat titik terang. Hal itu tentu menguntungkan
peneliti, mahasiswa Papua dan pemilik kos serta masyarakat. Melalui dialog
tersebut, setiap pihak menyadari kekeliruan masing-masing dan mengetahui hal
sebenarnya. Dialog mengenai masalah dan keributan yang dilakukan oleh mahasiswa
Indonesia Timur juga dilakukan dalam skala yang lebih besar dari action research yang saya lakukan, antara lain pada tanggal 30
Maret 2013, Pemerintah kabupaten Sleman menfasilitasi dialog warga Dusun Tambak
Bayan dengan perwakilan mahasiswa NTT, Timor Leste, Papua, Maluku (detiknews,
di unggah 29 Oktober 2016). Dialog ini dilakukan tiga tahun yang lalu. Namun,
muncul pertanyaan baru; mengapa masih ada kos anti Papua. Jawabannya jelas,
yaitu dialog tersebut belum sepenuhnya ditaati oleh semua pihak. Hal itu tampak
dari pandangan para informan yang saya wawancarai.
Pengalaman
ini tentu mengajarkan saya bahwa setiap permasalah yang terjadi mebutuhkan
dialog untuk menyelesaikannya.
Sebagai kesimpulan, saya melihat
bahwa ada perbedaan yang signifikan antara pelajaran HAM dan Kewarganegaraan
waktu di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dengan yang saya dapat di
Perkuliahan. Waktu SD sampai SMA saya mendapat input tentang HAM dan
Kewarganegaraan terbatas pada pengetahuan saja, ukuran kelulusannya pun
berdasarkan apa yang saya tahu. Sedangkan di perkuliahan saya bisa melihat HAM
dan Kewarganegaraan secara dinamis, dengan
cara pandang saya sendiri. Melalui action
research, saya bisa menyadari alasan mengapa tindakan pelanggaran HAM bisa
terjadi, bagaimana saya harus menghadapi persoalan HAM, dan langkah apa yang tepat
yang bisa saya lakukan.
Perkuliahan HAM dan Kewarganegaraan
pun telah membekali saya langkah yang tepat untuk melakukan action research saya. Langkah yang
paling tampak ialah dengan dialog dan berempati. Kedua langkah ini membantu
saya untuk terlibat dalam kehidupan objek penelitian. Action research saya juga berjalan dengan lancar dengan bantuan
para pengampu mata kuliah HAM dan Kewarganegaraan dan teman-teman dalam bentuk
memberikan masukan yang sangat berarti.
Harapan
saya, semoga apa yang saya dapat dari perkuliahan HAM dan Kewarganegaraan,
serta action research bisa membantu
saya untuk memahami kehidupan berwarganegera yang baik dan benar. Tentu poin
pentingnya menjadi warga negara transformatif.
Daftar
Pustaka:
Chary, 2013, Benarkah Masyarakat Papua Memiliki Sikap dan Watak yang Kasar?,
Kompasiana.com. ( Diunggah tanggal 23
Oktober 2016).
DetikNews, 2006, Mendesak, Dialog Soal Papua, DetikNews.
(Diunggah tanggal 29 Oktober 2016).
DetikNews, 2013, Hindari Gesekan, Masyarakat Indonesia Timur
dan Warga Ygyakarta Gelar Dialog, DetikNews. ( Diunggah tanggal 5 Desember
2016).
Kompas.com, 2016, Komnas HAM Sebut Sikap Anti Papua Terjadi 5
Tahun Belakangan Di Yogyakarta, Kompas.com. ( Diunggah tanggal 23 Oktober 2016).
Sinombor, 2015, Forum Dialog Jakarta-papua demi
Menyelesaikan Polemik Papua,
Kompas.com. ( Diunggah tanggal 29 Oktober 2016).
Komentar
Posting Komentar