MENINJAU KEMBALI TUJUAN LEMBAGA PENDIDIKAN
MENINJAU
KEMBALI TUJUAN LEMBAGA PENDIDIKAN
Adolfus
Frederik
Mahasiswa
Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM
Akhir-akhir ini, tema tentang
tindakan kekerasan di lembaga pendidikan tinggi menjadi perbincangan seluruh
lapisan negara di Indonesia. Mulai dari tatanan pemerintah, media sosial dan
elektronik, bahkan langsung meraba plosok-plosok kehidupan masyarakat Indonesia.
Kenyataan ini tentu melahirkan pertanyaan besar; apa yang sedang dihadapi oleh lembaga
pendidikan di Indonesia? Dan mengapa lembaga pendidikan yang nota bene wadah
untuk melahirkan generasi pencinta damai dan wajib menentang kekerasan
dihubung-hubungkan dengan tindakan kekarasan?
Peristiwa meninggalnya 3 mahasiswa
Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang
diduga akibat adanya tindakan kekerasan tentunya mengguncang dan mempersoalkan
banyak hal yang menyentuh lembaga pendidikan itu sendiri. Mirisnya, pelaku
kekerasan tersebut merupakan mahasiswa UII sendiri. Pada tanggal 30 Januari
2017 (dalam KRJogja.com), Polres Karanganyar menangkap dua tersangka
penganiayaan, Yud Alias MW alias Kresek (25) dan AS alias Ang alias Waluyo (27)
yang menyebabkan tiga peserta The Great
Camping (TGC) Mapala Unisi meninggal dunia.
Peristiwa ini dapat menyebabkan
keresahan masyarakat yang telah “menitipkan” anaknya untuk dididik dalam
lembaga pendidikan formal, menciptakan keraguan bagi masyarakat, mahasiswa pun
menjadi takut untuk terlibat dalam organisasi ekstra kampus, bahkan ekspektasi
paling buruk ialah dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kampus
sebagai lembaga pendidikan yang
dielu-elukan sebagai lembaga yang bisa memproduksi generasi berkualitas bagi
masa depan negara dan bangsa Indonesia. Selain itu, Peristiwa ini
mempertanyakan tujuan pendidikan tinggi sebagai lembaga pendidikan. Ekspektasi-ekspektasi
ini tentunya menjadi hal penting untuk direfleksikan oleh seluruh lembaga
pendidikan di Indonesia.
Tujuan
Lembaga Pendidikan
Dalam undang-undang Republik
Indonesia No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bab 1 pasal 5, pendidikan nasional bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa
kepad Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, terampil, berkompeten dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Poin-poin itu menjadi konsep tujuan
pendidikan yang berkarakter pancasila, yang tentunya merujuk pada
penanaman nilai-nilai dan norma positif kepada peserta didik, bahkan pendidik
sekalipun. Maka, jelaslah bahwa pendidikan tampil sebagai wadah untuk
menghasilkan bibit generasi masa depan berkualitas dalam ilmu dan berkarakter.
Untuk
itu, lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan
yang mendidik, menyelenggarakan kegiatan ekstra positif, dan mengawasi setiap
perkembangan mahasiswa sejak dia masuk dalam lembaga pendidikan tersebut sampai
dia menyelesaikan pendidikannya. Pengawasan terhadap semua kegiatan ekstra pun
harus dilakukan. Tujuannya untuk menjamin apakah kegiatan-kegiatan tersebut
tetap bermuat pendidikan, bisa mendekatkan peserta didik kepada Tuhan,
menanamkan nilai-nilai dan norma, meningkatkan kreatifitas dan kemandirian
peserta didik atau hanya sekadar memenuhi kelender kerja lembaga pendidikan,
atau bahkan merusak peserta didik.
Kejadian
yang melibatkan tersangka mahasiswa UII Yogyakarta sangat jelas bertentangan
dengan tujuan pendidikan dalam undang-undang. Pendidikan tidak hadir sebagai
lembaga penanaman kekerasan. pendidikan juga tidak hadir sebagai wadah
mempraktikkan senioritas. Apalagi merusak Hak Asasi Manusia (HAM). Kejadian ini
pun mengaburkan nilai dan norma dalam kehidupan peserta didik.
Menjamin Penerapan Tujuan Pendidikan
Sebagai
solusi, pendidikan tinggi harus berani memberi jaminan untuk menjawab masalah
yang terjadi. Bukan hanya pendidikan tinggi yang terlibat dalam masalah
kekerasan tersebut, tetapi juga menjadi pekerjaan rumah semua pendidikan tinggi
di Indonesia. Pendidikan-pendidikan tinggi harus menggalakkan lagi tujuan
pendidikan itu sendiri dengan melakukan sosialisasi dan mempertegas regulasi
pendidikan tinggi dalam setiap agenda pendidikan itu sendiri, meninjau kembali
pelaksanaan kegiatan ekstra kampus, dan mengawasi seluruh rangkaian pendidikan
peserta didik. Tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi melampaui keseharian
peserta didik. Dengan begitu, lembaga pendidikan hadir untuk memenuhi tujuan
pendidikan itu sendiri, sehingga masyarakat tidak merasa resah dan berbalik
mempercayai lembaga pendidikan sebagai tempat mendidik anak, peserta didik
ramai mendaftarkan diri untuk masuk dalam kegiatan ekstra yang dapat
meningkatkan kualitas ilmu dan karakter mereka sebagai masa depan bangsa.
Mantap Adolf .bagus tulisan nya tapi harus di pertajam menurut pandangan mu .bukan dari perspektif undang undang
BalasHapus